ADVERTORIAL – Menyoroti Tindak Kekerasan Seksual yang terjadi di Kabupaten Malaka, Penulis ingin menyoroti khusus bagian mengenai RESTITUSI, sebagai bahan baca bagi segenap masyarakat Malaka, agar masyarakat, terutama yang pernah menjadi korban, mengetahui hak-hak dari korban Kekesaran Seksual, sehingga berani melaporkan perihal kekerasan seksual kepada institusi Kepolisian RI, agar tidak terjerat pada upaya-upaya di luar konstitusi atau Undang-Undang, semisal mengurus secara kekeluargaan, dengan denda adat, atau menutupi malu keluarga dengan sejumlah uang atau materi tertentu, baik langsung kepada korban maupun kepada keluarga korban.
Dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022, Bab V, tentang Hak Korban, Keluargga Korban dan Saksi, dijelaskan bahwa;
Pertama; Pasal 65, ayat 2, tentang Pelaksanaan Pelindungan Saksi dan Korban diselenggarakan sesuai dengan Undang-Undang yang mengatur tentang perlindungan Saksi dan Korban,
Kedua; Pasal 66 yang mengatur tentang Hak Korban. Ayat 1 berbunyi “Korban berhak atas Penanganan, Pelindungan, dan Pemulihan sejak terjadinya Tindak Pidana Kekerasan Seksual.”
Pasal 67 menerangkan turunannya meliputi;
ayat 1, Hak Korban meliputi:
a. hak atas Penanganan;
b. hak atas Pelindungan; dan
c. hak atas Pemulihan.
Ayat 2, Pemenuhan Hak Korban merupakan kewajiban negara dan dilaksanakan sesuai dengan kondisi dan kebutuhan Korban.
Ketiga; Pasal 30 menjelaskan bahwa:
ayat 1, Korban Tindak Pidana Kekerasan Seksual berhak
mendapatkan Restitusi dan layanan Pemulihan.
Ayat 2, Restitusi sebagaimana dimaksud pada ayat 1, berupa:
a. ganti kerugian atas kehilangan kekayaan atau penghasilan;
b. ganti kerugian yang ditimbulkan akibat penderitaan yang berkaitan langsung sebagai akibat Tindak Pidana Kekerasan Seksual;
c. penggantian biaya perawatan medis dan/atau psikologis; dan/ atau
d. ganti kerugian atas kerugian lain yang diderita Korban sebagai akibat Tindak Pidana Kekerasan Seksual.
Keempat; Pemulihan setelah proses peradilan meliputi:
a. pemantauan, pemeriksaan, serta pelayanan kesehatan fisik dan psikologis Korban secara berkala dan berkelanjutan;
b. penguatan dukungan komunitas untuk Pemulihan Korban;
c. pendampingan penggunaan Restitusi dan/ atau kompensasi;
d. penyediaan dokumen kependudukan dan dokumen pendukung lainnya yang dibutuhkan oleh Korban;
e. penyediaan layanan jaminan sosial berupa jaminan kesehatan dan bantuan sosial lainnya sesuai dengan kebutuhan berdasarkan penilaian tim terpadu;
f. pemberdayaan ekonomi; dan
g. penyediaan kebutuhan lain berdasarkan hasil identilikasi UPTD PPA dan/atau Lembaga Penyedia Layanan Berbasis Masyarakat.
Kelima; pada bagian ketiga dijelaskan mengenai Hak Keluarga Korban, dalam pasal Pasal 71, tentang Hak Keluarga Korban meliputi:
a. hak atas informasi tentang Hak Korban,
b. hak Keluarga Korban, dan proses peradilan pidana sejak dimulai pelaporan hingga selesai masa pidana yang dijalani terpidana; b. hak atas kerahasiaan identitas;
c. hak atas keamanan pribadi serta bebas dari ancaman yang berkenaan dengan kesaksian yang akan, sedang, atau telah diberikan;
d. hak untuk tidak dituntut pidana dan tidak digugat perdata atas laporan Tindak Pidana Kekerasan Seksual;
e. hak asuh terhadap Anak yang menjadi Korban, kecuali haknya dicabut melalui putusan pengadilan;
f. hak mendapatkan penguatan psikologis;
g. hak atas pemberdayaan ekonomi; dan
h. hak untuk mendapatkan dokumen kependudukan dan dokumen pendukung lain yang dibutuhkan oleh Keluarga Korban.
(2) Selain hak sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Anak atau anggota Keluarga lain yang bergantung penghidupannya kepada Korban atau orang tua yang bukan sebagai pelaku berhak atas: a. fasilitas pendidikan; b. layanan dan jaminan kesehatan; dan c. jaminan sosial.
Keenam; terkait kewajiban Pemerintah Daerah, baik provinsi maupun Kabupaten/Kota wajib membentuk UPTD PPA yang menyelenggarakan Penanganan, Pelindungan, dan Pemulihan Korban, Keluarga Korban, dan/ atau Saksi. Turunannya dalam penanganan meliputi;
a. menerima laporan atau penjangkauan Korban;
b.memberikan informasi tentang Hak Korban;
c. memfasilitasi pemberian layanan kesehatan;
d. memfasilitasi pemberian layanan penguatan psikologis;
e. memfasilitasi pemberian layanan psikososial, Rehabilitasi sosial, pemberdayaan sosial, dan reintegrasi sosial;
f. menyediakan layanan hukum;
g. mengidentifikasi kebutuhan pemberdayaan ekonomi;
h. mengidentifikasi kebutuhan penampungan sementara untuk Korban dan Keluarga Korban yang perlu dipenuhi segera;
i. memfasilitasi kebutuhan Korban Penyandang Disabilitas;
J. dan bekerja sama atas pemenuhan Hak Korban dengan lembaga lainnya; dan
k. memantau pemenuhan Hak Korban oleh aparatur penegak hukum selama proses acara peradilan.
Ketujuh; Pada pasal 1, ayat 20, dijelaskan mengenai restitusi. Restitusi adalah pembayaran ganti kerugian yang dibebankan kepada pelaku atau pihak ketiga berdasarkan penetapan atau putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap, atas kerugian materiel dan/ atau imateriel yang diderita Korban atau ahli warisnya. Selanjutnya ayat 21, dijelaskan bahwa; Dana Bantuan Korban adalah dana kompensasi negara kepada Korban Tindak Pidana Kekerasan Seksual. Ayat 22, Rehabilitasi adalah upaya yang ditujukan terhadap Korban dan pelaku untuk memulihkan dari gangguan terhadap kondisi fisik, mental, dan sosial agar dapat melaksanakan perannya kembali secara wajar, baik sebagai individu, anggota Keluarga, maupun Masyarakat.
Kedelapan, Pasal 16, ayat 1 menjelaskan; Selain pidana penjara, pidana denda, atau pidana lainnya menurut ketentuan Undang-Undang, hakim wajib menetapkan besarnya Restitusi terhadap Tindak Pidana Kekerasan Seksual yang diancam dengan pidana penjara 4 (empat) tahun atau lebih.
Ayat 2, Terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), hakim dapat menjatuhkan pidana tambahan berupa: a. pencabutan hak asuh Anak atau pencabutan pengampuan; b. pengumuman identitas pelaku; dan/ atau c. perampasan keuntungan dan/atau harta kekayaan yang diperoleh dari Tindak Pidana Kekerasan Seksual.
Kesembilan, Pasal 36, ayat 1 menjelaskan Terhadap perkara yang dikesampingkan demi kepentingan umum atau dihentikan demi hukum, untuk sita Restitusi atau Restitusi yang dititipkan berupa barang, dimintakan penetapan kepada ketua pengadilan negeri untuk dilakukan lelang.
Kesepuluh, dalam pasal 31 ayat 3 dijelaskan bahwa; Penyidik dapat melakukan penyitaan terhadap harta kekayaan pelaku Tindak Pidana Kekerasan Seksual sebagai jaminan Restitusi dengan izin pengadilan negeri setempat.
Kesebelas, Pasal 12, Setiap Orang dengan kekerasan atau ancaman kekerasan atau dengan menyalahgunakan kedudukan, wewenang, kepercayaan, perbawa yang timbul dari tipu muslihat atau hubungan keadaan, kerentanan, ketidaksetaraan, ketidakberdayaan, ketergantungan seseorang, penjeratan hutang atau memberi bayaran atau manfaat dengan maksud untuk mendapatkan keuntungan, atau memanfaatkan organ tubuh seksual atau organ tubuh lain dari orang itu yang ditujukan terhadap keinginan seksual dengannya atau dengan orang lain, dipidana karena eksploitasi seksual, dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
Kesimpulan, bagi masyarakat yang pernah mengalami tindak kekerasan seksual, baik diri pribadi, saudara, sahabat, atau anak, hendaknya melaporkan kejadian tersebut kepada pihak berwajib, dalam hal ini Kepolisian Republik Indonesia, agar ditindak berdasarkan Undang-undang, dan mendapatkan hak-hak sebagai korban, baik Restitusi dan pelindunngan oleh Negara. Jangan sampai keluarga diperdaya oleh bujuk rayu pihak tertentu untuk menyelesaikan tindak kekerasan seksual dengan cara yang tidak dianjurkan oleh Undang-undang, di antaranya, proses damai oleh pihak keluarga dan masyarakat.
Negara bertanggungjawab atas korban dalam segala proses hukum, mulai dari pelaporan, penyidikan, penuntutan, Pemutusan, hingga Rehabilitasi dan Pemulihan yang menjadi Utama dalam tindak pidana Kekesaran seksual.
Bagi para Korban Kekerasan Seksual dapat mendatangi POLRES terdekat atau Lembaga Perlindungan Perempuan dan Anak. )* Betun, 10 Mei 2022.
Ignasius Roy Suyanto Tei Seran, S. Fil. – Pemerhati Perempuan dan Anak Malaka.