Kabupaten Malaka akan menggelar Pemilu Kada untuk yang ketiga kalinya sejak berpisah dari Kabupaten Induk, Kabupaten Belu pada tahun 2013 silam. Banyak figur mulai muncul ke permukaan (Postingan Medsos dan Media Online) dan sangat wajar jika semua figur ingin menang dalam kontestasi Pemilu Kada Malaka 2024.
Sebut saja, Bupati Malaka, Simon Nahak (petahana), Wabup Malaka, Kim Taolin (Petahana) dan Stefanus Bria Seran (Mantan Bupati Malaka 2014-2019). Belakangan muncul pula nama Emanuel Makaraek (Kaban Perbatasan Malaka) yang digadang-gadang akan bertarung di Pilkada Malaka 2024 mendatang. Ke-empat sosok putra daerah ini sama-sama memiliki pengaruh elektoral yang kuat ditengah-tengah masyarakat Kabupaten Malaka.
Simon Nahak sebagai petahana (Bupati, Red), tentunya ingin melanjutkan apa yang sudah ia rintis sejak tiga tahun lalu bersama Kim Taolin. Kim Taolin sebagai petahana (Wabup, Red) juga ingin melanjutkan karya yang sudah dirintisnya bersama Simon Nahak.
Sedangkan SBS kembali lagi untuk menuntaskan pekerjaan rumah yang belum ia tuntaskan, setelah sebelumnya kalah dari Simon Nahak dan Kim Taolin. Sementara Emanuel Makaraek tentunya ingin maju dengan mengusung program perubahan yang belum sampai ke publik.
Tahun ini, pemilu kada secara serentak digelar pada Rabu, 27 November 2024, namun belakangan yang terjadi banyak “Ujaran Kebencian” yang dipertontonkan. Hal tersebut tentu saja dapat mengakibatkan polemik antar individu atau kelompok, seperti perasaan sakit hati, kegaduhan, hingga kekerasan.
Ingat! Pilkada Malaka 2020 menjadi sejarah demokrasi yang sangat melukai sesama anak Malaka. Saling ancam, saling dendam, sampai pada kekerasan fisik dan lain-lainnya, yang membuat batin masyarakat ikut terintimidasi.
Kita harus mencintai daerah ini, dengan menampilkan gagasan dan ide untuk merebut simpati rakyat, bukan menampilkan pertarungan perasaan yang merembes kemana-mana.
Sebagai kabupaten bungsu di provinsi kepulauan ini, Malaka punya banyak kader pemimpin dari berbagai disiplin ilmu yang siap mengabdikan diri sebagai pelayan masyarakat.
Kita harus memiliki kebesaran jiwa dan kerendahan hati untuk memaknai kultur demokrasi yang lebih menampilkan pertarungan gagasan dari pada pertarungan perasaan di daerah yang sama-sama kita cintai.
Masyarakat Malaka dimana saja berada, tentu memiliki niat yang sama dalam mendorong pertarungan gagasan di arena Pilkada Malaka pada Rabu, 27 November 2024 mendatang, sehingga masyarakat tidak lagi terbelah dan terkotak-kotak seperti kemarin, Pilkada Malaka 2020.
Kita sadar, setiap figur ingin maju dan menang, tetapi harus “fair play” dan punya komitmen untuk bangun demokrasi yang berkualitas, bukan demokrasi yang saling menjelekkan dan memfitnah.
Artinya, produk demokrasi diera Kepemimpinan “Bupati Malaka Ketiga” ini harus menghasilkan solusi terhadap berbagai persoalan kemajuan daerah. Tetapi jika mau tersandera pada panggung pertarungan perasaan, sudah pasti masyarakat terbelah dan terkotak-kotak. Ruang ketegangan ini terus meluas, dengan luapan aroma fitnah dan saling menjelekkan. Sehingga fondasi “Hakneter No Haktaek” sebagai kultur budaya orang Malaka akan hancur berkeping-keping.
Kita menyadari bahwa Pemilu Kada sebagai pemantik diskusi akan tumpah ruah diberbagai ruang formal, informal, publik dan privat. Dimensi percakapan politik ini kita yakini akan meluas, baik dari para penyelenggara negara, para elite lokal dan partai politik, pebisnis lokal, cendekiawan dan akademisi hingga warga awam.
Sudah saatnya titik tegang demokrasi dihentikan, karena hanya memposisikan rakyat sekedar tim sorak dan penonton. Begitu pula dengan diskusi, dimana pertarungan ide, gagasan dan solusi tidak menjadi perioritas. Debat kusir yang kita lihat saat ini meluas diberbagai platform media sosial menjadi “Diksi Buruk” yang memperluas jurang perbedaan dan akan memicu konflik yang berujung perpecahan, sehingga perlu dihindari.
Sebagai anak Malaka, saya menyodorkan gagasan “Penganut Teori Kritis” asal Jerman, Jurgen Habermas, yang mensyaratkan tiga kondisi dalam ruang publik agar demokrasi deliberatif dapat diterapkan, Pertama, perlunya kesetaraan sehingga publik dapat menyalurkan menanggapi opini yang ada tanpa harus dibatasi dengan status sosial yang disandangnya. keterbukaan akan keadaan masyarakat yang heterogen menjadi landasan dari elemen kesetaraan dalam ruang publik.
Kedua, bebas dari dominasi sehingga publik bisa berpartisipasi secara penuh dan berdikari. Ketiga, bersifat inklusif yakni membicarakan persoalan umum yang menyangkut hajat hidup orang banyak.
Kita berharap agar di ruang publik, pembedahan visi misi dan program harus dihadirkan dalam ruang-ruang formal, agar rakyat bisa secara langsung menguji gagasan para figur secara terbuka, sehingga mereka bisa menemukan sosok pemimpin terbaik untuk masa depan Malaka.
Dengan demikian, keterlibatan masyarakat dalam politik elektoral tak sebatas memberikan suaranya. Lebih dari itu partisipasi rakyat lebih diutamakan di arena kontestasi hajatan 5 tahunan ini.
Putra-Putri Malaka dimana saja berada, mari kita maknai ruang demokrasi deliberisasi yang ditawarkan oleh Habermans ini secara bijak, karena
Demokrasi (Pemilu Kada, Red) tidak terjadi sekali untuk selamanya. Demokrasi ini menjadi proses yang tidak pernah usai. Ia selalu berubah dan berkembang, entah menuju kemajuan ataupun kemunduran. Semua tergantung erat pada perjuangan kita untuk anak cucu.
Tanggung jawab pemimpin-pemimpin politik di Kabupaten Malaka pun harus berjalan baik pada koridornya, lewat partisipasi yang didasari substansi gagasan, sehingga kita bisa melewati cobaan pahit pada Pilkada Malaka 2020 silam. SELAMAT BERJUANG…Selamat Merayakan Pesta Paskah 2024!!!. ***