Oleh: Suyono Saeran
Lelaki itu terlihat gelisah. Sebentar-sebentar keluar rumah dan duduk di teras rumahnya yang sederhana. Setelah duduk sebentar, lelaki itu masuk lagi ke dalam untuk menemui Ijah, istrinya, yang menahan sakit di perutnya.
Lelaki itu adalah Abdul Ahad yang terlihat begitu kasihan dengan kondisi istrinya yang sepertinya tidak lama lagi akan melahirkan. Abdul Ahad yang kemudian duduk di samping istrinya untuk memberinya semangat, meminta dukun kampung yang membantu istrinya melahirkan agar hati-hati dalam menangani persalinan sang istri.
Sang dukun kampung dengan penuh cekatan dan pengalaman yang tidak terhitung dalam menangani orang melahirkan, akhirnya berhasil membantu istri Abdul Ahad melahirkan. Tangis bayi langsung melengking begitu keluar dari rahim istrinya. Langit di atas rumahnya yang terletak di Kilometer 3 Tanjungpinang yang dari tadi mendung tiba-tiba langsung cerah. Awan gelap perlahan pergi dan membentuk gumpalan-gumpalan kecil seputih kapas. Burung-burung yang hinggap di pohon rambutan di depan rumah Abdul Ahad juga ikut berkicau nyaring seolah menyambut kedatangan sang bayi hadir di dunia.
Tepat hari Jumat tanggal 10 April tahun 1964 bayi laki-laki berkulit putih bersih dengan wajah tampan dan hidung mancung itu melengkapi keluarganya menjadi enam orang. Emak, bapak dan empat orang anak.
Bagi Abdul Ahad, kelahiran seorang bayi laki-laki di keluarganya merupakan sebuah anugerah yang sudah lama diharapkan. Maklum, tiga orang anak sebelumnya semua perempuan yakni Musarat Sultana, Israt Sultana dan Isref Sultana. Maka kehadiran bayi laki-laki yang kemudian dia beri nama Ansar Ahmad tersebut, merupakan pelita jiwa bagi keluarga.
Karena itu kasih sayang Abdul Ahad begitu tercurah untuk anak lelaki yang didambakannya.Di mata Abdul Ahad, kehadiran Ansar Ahmad jadi buah hati pelipur lara. Penawar letih ketika dirinya baru pulang kerja mencari penghidupan. Ansar Ahmad kecil kemudian tumbuh jadi anak yang sehat dan disayang, tidak hanya oleh ayah dan ibunya, tetapi juga tiga orang kakak perempuannya.
Setelah Abdul Ahad seharian bekerja, begitu pulang dan sampai rumah yang pertama kali dicari dan ditanyakan ke istrinya adalah Ansar Ahmad. Bagi Abdul Ahad, anak lelakinya itu begitu istimewa dan tidak ada yang boleh mengganggu. Tiga orang kakak perempuannya terkadang sampai iri sama Ansar Ahmad, tetapi, lama kelamaan mereka memakluminya.
“Kata emak, bapak memang begitu sayang pada saya. Setelah bepergian untuk bekerja, bapak selalu membawakan oleh-oleh. Dan selalu saya yang pertama dipanggil untuk diberikan oleh-oleh baru kemudian kakak. Saya terkadang rindu keduanya yang sudah almarhum dan almarhumah,” kata Ansar Ahmad di suatu saat ketika mengenang perjalanan hidupnya dan kedua orang tuanya.
Dari penuturan almarhumah emaknya ketika masih hidup, Ansar menceritakan kalau ayahnya merupakan sosok lelaki humoris yang suka bersendagurau. Ayahnya seorang penyayang bagi anak-anak dan keluarganya.
“Kata emak, perhatian bapak kepada anak-anaknya sangat besar. Setiap hari bapak bekerja keras membanting tulang. Dan bapak juga tipe seorang yang penyayang bagi keluarga,” tutur Ansar Ahmad.
Mengenai kesukaan almarhum bapaknya, Ansar mengatakan kalau sosok lelaki yang terpatri kuat dalam ingatannya itu merupakan penghobi minum kopi dan menyantap roti prata. “Setiap pagi sebelum bapak berangkat kerja, selalu dibikinkan kopi oleh emak. Tidak lupa juga sepinggan roti prata untuk sarapan bapak sambil minum kopi,” jelasnya.
Namun belum lama menikmati masa keemasan sebagai anak lelaki yang diistimewakan dalam keluarga, Ansar Ahmad punya seorang adik. Tepatnya pada 14 Juni 1965 adik lelakinya yang bernama Nesar Ahmad lahir dan menggenapi keluarga besarnya. Semenjak kelahiran adik lelakinya, Ansar Ahmad merasa bahagia karena dirinya tidak lagi anak laki-laki satu-satunya dalam keluarga. Bahkan antara Ansar Ahmad dan Nesar Ahmad, adiknya, begitu dekat dan selalu bermain bersama.
Bahkan ketika keduanya sama-sama tumbuh remaja, adiknya selalu menjadi pembela Ansar Ahmad kalau ada teman-temannya yang mengganggu. Dulu, Ansar Ahmad suka ditertawakan oleh kakak-kakak perempuannya. Pasalnya, suka menangis setelah diganggu sama teman sebayanya ketika bermain. Maklum, Ansar kecil kalau disuruh adu fisik, lebih memilih mengalah. Karena, baginya lebih baik mengalah dari pada terluka.
Karena sikapnya yang lebih memilih mengalah, kakak-kakak perempuan Ansar Ahmad sering menasehatinya agar sebagai laki-laki dirinya harus selalu tegar dan kuat.
“Jadi cowok jangan cengeng. Kalau aku jadi kamu, aku tonjok temanmu yang suka mengganggu itu. Jangan gampang menangis. Hadapi saja temanmu yang suka mengganggu itu. Laki-laki tidak boleh penakut,” cerita Ansar Ahmad ketika menirukan nasehat kakak perempuannya.
Sikap Ansar Ahmad yang tidak suka kekerasan ternyata berseberangan dengan sifat adiknya, Nesar Ahmad. Sering kali ketika Ansar Ahmad diganggu oleh teman-temannya, justru Nesar Ahmad yang maju untuk membela. Selisih umur Ansar Ahmad dengan Nesar Ahmad yang hanya setahun, membuat keduanya tumbuh dengan postur tubuh yang hampir bersamaan.
Ansar Ahmad mengenang bagaimana selalu bersama adiknya ketika sekolah dan bermain. Pernah suatu waktu, ketika pulang sekolah bukannya langsung ke rumah malah main ke pantai yang jaraknya satu kilometer dari rumah. Karena terlalu asyik bermain, tahu-tahu waktu sudah hampir ashar. Dan Nesar Ahmad langsung mengajaknya pulang agar tidak kena marah sama emaknya. “Dia adik yang baik. Selalu mengingatkan dan membela,” kata Ansar Ahmad.
Begitu juga ketika saat di sekolah ada yang mengganggu dirinya, Nesar Ahmad juga mengingatkan Ansar Ahmad agar tidak usah bermain dengan kawan sekolahnya yang suka mengganggu. Tetapi kalau masih ada juga yang mengganggu, sering kali Nesar yang maju dan melawan teman Ansar Ahmad itu.
“Nesar itu memang pemberani. Teman-teman jadi segan mengganggu saya kalau ada dia. Sayang adik saya sudah lebih dulu dipanggil Allah subhana wata’ala. Bagi saya, Nesar Ahmad itu banyak jasanya. Semoga Allah mengasihi dan menyayanginya,” kata Ansar Ahmad pelan sambil tatapannya menerawang jauh mengenang Nesar Ahmad, adiknya, yang disayanginya…