Scroll untuk baca artikel
HeadlineLintas Provinsi

Putusan PN Batam Menangkan OMS atas Kapal Iran, Pakar: Preseden Buruk, Celah Manipulasi Putusan Pidana

38
×

Putusan PN Batam Menangkan OMS atas Kapal Iran, Pakar: Preseden Buruk, Celah Manipulasi Putusan Pidana

Sebarkan artikel ini

Radar Malaka, Batam – Putusan kontroversial kembali lahir dari ruang sidang Pengadilan Negeri Batam. Dalam putusan perdata tertanggal 2 Juni 2025, majelis hakim mengabulkan gugatan Ocean Mark Shipping Inc (OMS) terhadap Pemerintah Republik Indonesia cq Kejaksaan Agung cq Kejati Kepri cq Kejari Batam cq Jaksa Penuntut Umum (JPU) dalam perkara pidana Nomor: 941/Pid.Sus/2023/PN Btm, yang menyita kapal MT Arman 114 dan muatan minyak mentahnya sebanyak 166.975,36 metrik ton.

Nilai ekonomis kapal dan muatannya ditaksir lebih dari Rp1 triliun. Yang lebih mengejutkan, kapal berbendera Iran itu sebelumnya telah dirampas untuk negara melalui putusan pidana yang berkekuatan hukum tetap (inkracht). Namun, dalam gugatan perdata bernomor 323/Pdt.G/2024/PN Btm yang didaftarkan pada 26 Agustus 2024, OMS justru dinyatakan sebagai pihak yang sah atas kepemilikan kapal dan kargonya.

Dua Putusan, Satu Pengadilan, Arah Bertolak Belakang

Putusan ini sontak menuai kritik keras dari akademisi hingga aparat penegak hukum. Agustinus Pohan, pakar hukum pidana dari Universitas Katolik Parahyangan, menyebut putusan perdata ini sebagai preseden buruk yang dapat merusak integritas sistem peradilan Indonesia.

“Ada masalah serius bila putusan perdata dijadikan alat untuk menegasikan putusan pidana yang telah inkracht,” ujar Pohan kepada, pada Sabtu, 7 Juni 2025.

Menurut Pohan, dalam sistem hukum Indonesia, putusan pidana memiliki kedudukan yang lebih tinggi dibanding perdata.

“Koreksi terhadap putusan pidana hanya bisa dilakukan melalui mekanisme pidana: banding, kasasi, atau peninjauan kembali. Tidak bisa lewat jalur perdata,” tegasnya.

Pohan menilai, penggunaan jalur perdata untuk menyoal objek yang sudah diputus dalam perkara pidana justru membuka ruang manipulasi dan penyalahgunaan hukum. Barang bukti dalam pidana, tegasnya, bukanlah objek sengketa sipil.

“Kalau misalnya harta saya disita dalam kasus pidana korupsi, saya tidak menggugat secara perdata. Saya buktikan lewat jalur pidana bahwa saya tidak bersalah,” katanya.

Kapal Korporasi, Tanggung Jawab Korporasi

Pohan juga menyoroti aspek pidana korporasi dalam kasus ini. Dia menduga pencemaran laut yang dituduhkan terhadap kapal MT Arman 114 bukan sekadar ulah individu, melainkan bagian dari operasi korporasi.

“Muatan minyak mentah itu bukan milik pribadi. Kalau OMS diakui sebagai pemilik sah, maka mereka juga bisa dimintai pertanggungjawaban atas dugaan pencemaran laut berdasarkan UU No. 32 Tahun 2009,” ujar Pohan.

Dia juga menekankan bahwa hakim tidak kebal kritik. Jika ada dugaan intervensi eksternal dalam putusan ini, menurutnya, harus segera dilaporkan ke Komisi Yudisial dan Mahkamah Agung.

Kejaksaan Banding: Putusan Cacat, Ciderai Keadilan

Sikap keras juga datang dari Kejaksaan sebagai pihak tergugat. Kepala Kejaksaan Tinggi Kepri, Teguh Subroto, menyatakan telah mengajukan banding atas putusan tersebut pada 4 Juni 2025. Dia menilai putusan hakim keliru, khilaf, dan cacat hukum.

“Putusan itu mencederai rasa keadilan. Kami meyakini hukum akan dikoreksi di tingkat banding dan keadilan akan ditegakkan,” ujarnya dalam keterangan resmi.

Teguh menyebut hakim telah salah dalam menerapkan hukum, dan bila dibiarkan, akan menjadi yurisprudensi yang membahayakan penegakan hukum nasional.

Sorotan Publik Menguat, Integritas Hakim Dipertanyakan

Kasus ini telah menjadi perbincangan luas di kalangan akademisi, aktivis, dan penegak hukum. Sorotan publik juga mengarah pada integritas hakim yang memutus perkara perdata ini.

Pohan menegaskan, sistem pengawasan terhadap hakim sangat penting untuk menjaga marwah peradilan.

“Jika ada dugaan putusan dipengaruhi kepentingan eksternal, itu tak boleh dibiarkan. Ini soal kepercayaan publik terhadap hukum dan keadilan,” katanya.

Dia mendesak aparat penegak hukum untuk tidak bersikap pasif. “Penyidik tidak perlu menunggu laporan. Jika ada dugaan pelanggaran hukum, seharusnya penyelidikan sudah berjalan,” tutupnya.

Editor: Budi Adriansyah