Scroll untuk baca artikel
Example 325x300
HeadlineLintas Provinsi

Pengalaman Pahit Munculkan Pribadi Yang Peduli (Bagian 10)

14
×

Pengalaman Pahit Munculkan Pribadi Yang Peduli (Bagian 10)

Sebarkan artikel ini

Oleh: Suyono Saeran

Emak Ijah merasakan beban hidup semakin berat seiring makin bertambah besarnya anak-anak yang harus dia hidupin. Belum lagi kelima anak-anaknya juga harus sekolah yang memerlukan biaya yang tidak sedikit. Penghasilannya sebagai penjual sayur keliling kampung kerap tidak mencukupi meskipun sudah seharian bekerja dari subuh hingga petang hari.

“Kadang saya lihat emak duduk sendiri di belakang rumah. Mungkin emak lagi berpikir tentang usaha atau pekerjaan yang hasilnya bisa mencukupi kebutuhan keluarga. Berjuang sendiri untuk menghidupi lima orang anak itu bukannya mudah. Apa lagi bagi seorang perempuan,” kata Ansar Ahmad ketika menceritakan bagaimana emaknya harus berjuang keras demi dirinya dan saudara-saudaranya.

Di saat emaknya yang harus berpikir dan berjuang sendirian demi kebutuhan keluarga, membuat Ansar Ahmad kecil ikut sedih. Ansar Ahmad sering menemani emaknya yang duduk sendiri di belakang rumah dan memijat kaki emaknya.

“Saya tahu sebenarnya emak sangat capek dan letih setelah bekerja seharian berjualan sayur. Karenanya saya sering memijit kakinya. Tapi emak selalu bilang kalau tidak capek dan sudah biasa berjalan kaki keliling kampung,” kata Ansar Ahmad ketika mengenang emaknya.

Kehidupan emak Ijah yang harus menanggung lima orang anaknya yang masih kecil-kecil ternyata menjadi perhatian Mardi, salah seorang pegawai Dinas Tenaga Kerja (Disnaker) Kabupaten Kepulauan Riau (sebelum berubah menjadi Kabupaten Bintan). Karena itu setiap awal bulan, ketika Mardi membagikan jatah beras ke para pegawai di kantor dinas tersebut, emak Ijah selalu ditawari untuk beli beberapa kilogram beras jatah dari Bulog tersebut dengan harga murah. Beras yang dibeli emak Ijah merupakan jatah dari pegawai yang tidak mau mengambilnya karena lebih memilih beras jenis lain yang kualitasnya lebih bagus.

Hampir di setiap awal bulan emak Ijah selalu mendapat jatah untuk beli beras Bulog dari Kantor Disnaker tersebut dengan harga murah. Upaya yang dilakukan emak Ijah tersebut bagian dari upayanya bagaimana bisa menghidupi ke lima anaknya dengan cukup makan meski terkadang hanya dengan lauk seadanya. Berbagai upaya dilakukan emak Ijah seperti menjadi buruh mencuci pakaian, jualan sayur keliling dan berjualan tapai yang penting anak-anaknya bisa tumbuh dan berkembang seperti anak-anak lain pada umumnya.

Emak Ijah tidak pernah malu. Demi ke lima buah hatinya, dia lakukan apa saja. Sebagai sosok emak yang jadi penopang keluarga, dirinya selalu berusaha tegar dan kuat dengan berbagai usaha dalam mencukupi kebutuhan keluarganya. Emak Ijah berharap anak-anaknya kelak bisa tertempa menjadi sosok pribadi yang tidak mudah menyerah ketika menghadapi situasi sesulit apa pun.

“Saya terkadang kasihan melihat emak yang mati-matian bekerja dan mencari penghidupan. Pribadinya yang kuat telah memotivasi anak-anaknya untuk terus berusaha mengatasi berbagai persoalan yang dihadapi. Emak bagi saya tidak hanya sekedar sebagai ibu tetapi juga tauladan hidup dalam perjalanan mengarungi kerasnya kehidupan,” kata Ansar Ahmad.

Pengalaman pahit yang pernah dialami emaknya dan ke empat saudara-saudaranya menjadikan Ansar Ahmad tumbuh menjadi pribadi yang sangat memahami tentang kesusahan orang lain. Karenanya ketika dirinya tumbuh dewasa dan meraih kesuksesan, satu hal yang tidak pernah dia lupakan adalah berbagi kebahagiaan dengan orang lain. Ketika Ansar Ahmad bepergian dan melewati pelabuhan, pertama kali yang dia dekati adalah masyarakat kecil seperti tukang becak, porter dan buruh pelabuhan. Kepadanya, Ansar Ahmad selalu menitipkan sebagian rezeki yang dimilikinya agar bisa mereka rasakan meski sekedar hanya untuk bisa beli kopi dan dinikmati bersama.

Begitu juga ketika Ansar Ahmad duduk di kedai kopi atau singgah sebentar di kedai makanan, dia selalu berusaha untuk membayari mereka yang saat itu duduk untuk pesan makanan atau hanya sekedar ingin minum kopi.

“Saya pernah mengalami masa sulit. Hidup dalam kesulitan itu berat. Karena itu meski kadang tidak seberapa, membantu meringankan beban orang lain itu penting, agar hidup itu indah. Membuat orang lain bisa tersenyum itu sebuah kebahagiaan tersendiri yang tak ternilai harganya,” katanya dengan nada pelan.

Jiwa kepedulian sosialnya memang sudah tertanam kuat pada jiwa Ansar Ahmad. Pernah suatu waktu, ketika saya bersamanya dalam satu mobil untuk ke kantor, baru saja mobil yang kami kendarai itu berjalan sekitar 200 meter dari rumahnya, dia melihat dua orang laki-laki dan seorang perempuan setengah baya menyapu jalanan. Meski masih pagi ketiga orang itu sudah bermandikan keringat. Mereka membersihkan bahu jalan dari dedaunan kering, rumput liar dan sampah yang berserak yang dibuang oleh para pengguna jalan.

Melihat hal itu, Ansar Ahmad meminta sopir yang membawanya untuk menepikan mobil dan berhenti. Kemudian dia keluar dari mobil itu dan menemui ketiga orang penyapu jalanan tersebut. Ansar Ahmad menyalami satu persatu dan menanyakan kabarnya. Sambil duduk di pinggir jalan bersama tiga orang penyapu jalan tersebut, Ansar Ahmad mencoba sedekat mungkin dan tidak ada jarak. Pada hal dia sudah berbaju dinas lengkap serta rapi sementara para penyapu jalanan berpakaian kumal dan bermandikan keringat.

Tapi dia tidak hiraukan semua itu dan tetap duduk bersama serta menyapanya dengan penuh kelembutan. Sekitar lima menit dia berbincang dan berbicara dengan para penyapu jalanan itu. Apa yang dibicarakan saya kurang begitu memperhatikan karena saya masih berdiri di samping mobil dan posisinya agak jauh dari mereka.

Setelah selesai menemui para penyapu jalanan tersebut, dia pamitan pergi. Namun sebelum pergi saya lihat dia merogoh salah satu saku celananya dan mengeluarkan beberapa lembar uang kertas warna biru untuk diberikan kepada tiga orang penyapu jalanan tersebut. Saya lihat tiga orang penyapu jalanan tersebut tertegun dan dengan sikap menundukkan kepala mencoba meraih tangan Ansar Ahmad untuk diciumnya. Tapi Ansar Ahmad secepatnya menarik tangan itu setelah bersalaman. Tidak lama kemudian Ansar Ahmad berpamitan untuk kembali melanjutkan perjalanannya ke kantor.

Setelah kembali di dalam mobil, dia hanya duduk diam. Matanya tajam menatap ke depan. Saya juga tidak berani bertanya dan berkata. Saya hanya membiarkan pikiranku melayang bersama mobil yang berjalan perlahan. Dalam pikiranku yang melayang, saya bayangkan ketiga orang penyapu jalan tadi yang dari senyum dan wajahnya yang cerah betapa tersirat sebuah kebahagiaan yang dia alami. Sebuah kejutan yang tidak pernah dia sangka. Sebuah uluran tangan yang membuatnya kian semangat dalam bekerja.

Tiba-tiba lamunanku buyar ketika mobil mendadak berhenti. Ternyata perjalanan ke kantor sudah separuh jalan dan sekarang sudah sampai di sebuah lampu merah. Kulihat dia tengah membuka handphone dan membalas beberapa pesan WhatsApp yang masuk di androidnya.

Saat kami asyik dengan handphone masing-masing, tiba-tiba kaca mobil diketok seseorang. Dia terperanjat dan langsung membuka kaca mobil. Ternyata seorang ibu tua yang menjajakan koran. Dia pandangi wajah ibu tua itu dengan senyuman. Tidak menunggu lama, dia berikan ibu tua penjual koran itu dengan selembar uang kertas merah.

Ibu tua itu dengan tangan gemetar meraihnya dan mengucapkan terima kasih berulang-ulang sambil mendoakan. Ibu tua itu juga memberikan beberapa koran yang dia jajakan. Namun dia tidak mau menerimanya dan bilang agar koran tersebut dijualnya kembali serta berpesan agar hati-hati berjualan koran di pinggir jalan.

Tidak lama kemudian, lampu merah memberi tanda hijau sebagai isyarat untuk berjalan. Kami meneruskan perjalanan ke kantor. Dalam hening, tiba-tiba dia bicara bahwa dulu dia pernah mengalami masa-masa sulit. Pernah terasing dari teman-temannya karena sebuah tekanan ekonomi yang dialami keluarganya. Karena itu dalam hatinya, dia mencoba untuk selalu ingat mereka yang pernah senasib sepertinya ketika waktu dirinya kecil dulu.

Karena ingatan pahit masa lalunya itu, dengan posisi yang diraihnya kini dia mencoba untuk selalu bisa berbagi. Bukan soal jumlahnya. Bukan soal kuantitasnya. Juga bukan soal mengapa. Dia hanya ingin sebisanya berbagi meski kadang tidak seberapa. Karena dia selalu ingat sebuah firman sang pemberi kehidupan, bahwa seandainya mereka yang sudah mati bisa dihidupkan kembali maka hal yang akan dilakukan adalah berbagi (sedekah). Karena sungguh berbagi itu nikmat. Berbagi itu melapangkan kebaikan dan berbagi itu membuat sebuah kecerahan…