Malaka – Alumni Pasca Sarjana Doktoral Ilmu Hukum Universitas Gadjah Mada Jogjakarta, Dr. Yohanes Bernando Seran, SH. M.HUM mengatakan sesuai hukum murni, pra peradilan Tom Lembong harus dikabulkan.
Dr Nando mengatakan ada beberapa pertimbangan hukum yang menguatkan argumentasi diatas :
Pertama, Upaya Hukum Praperadilan yang dilakukan Advokat Pembela Tom Lembong adalah legal sesuai pengaturan psl 77 KUHAP. Dalam konteks hukum acara atau hukum prosedural penetapan dan atau penahanan Tom Lembong adalah inkonstitutional karena telah menabrak ketentuan hukum acara yang menghendaki adanya bukti permulaan dan bukti permulaan yang cukup dan atau bukti yang cukup..
Kedua, bahwa penetapan Tom Lembong sebagai tersangka oleh Kejaksaan kendati tidak terbukti adanya hasil pemeriksaan BPK yang menyebutkan tidak adanya kerugian keuangan negara menjadi alasan kuat untuk mengkualifikasi tindakan Jaksa sebagai kesewenang wenangan yang menjurus kepada UNFAIR PREJUDISE. Oleh karena itu pebetapan status tersangka Tom Lembong sudah sewajarnya dapat dibatalkan dan atau batal demi hukum.
Ketiga, Jika kita merunut pada doktrin hukum dan menelaah kasus Tom Lembong dari aspek hukum murni ( Rheine Recht) maka hakim praperadilan harus mengabulkan permohonan Tim hukum Tom Lembong yaitu penetapan status dan penahanan Tom Lembong tidak sah dan mengandung ketidaksempurnaan dalam pembuktiannya .akan tetapi jika kasus Tom Lembong tidak semata hukum murni maka bukan tidak mungkin praperadilan Tom Lembong akan ditolak. Jika penolakan yang terjadi maka kita dapat menyimpulkan senjanya hukum acara telah datang dan menyata.
Keempat, bahwa praktek hukum acara pidana yang ideal adalah penetapan seseorang sebagai tersangka harus didukung dengan bukti minimum yang cukup dan bukannya berdalih bahwa penetapan status seseorang terlebih dahulu baru diikuti dengan mencari alat bukti karena kondisi demikian telah terkontaminasi dalam terminologi Contradictio in Terminis. ( boni)