Scroll untuk baca artikel
Example 325x300
HeadlineLintas Provinsi

Emak Berniat Jual Rumah dan Balik Kampung (Bagian 4)

112
×

Emak Berniat Jual Rumah dan Balik Kampung (Bagian 4)

Sebarkan artikel ini

Oleh: Suyono Saeran

Dua hal yang paling diingat Ansar Ahmad tentang Ijah, emaknya. Pertama seorang emak yang tangguh dan kedua seorang emak yang tidak pernah bercerita tentang keburukan orang lain.

Bagi Ansar Ahmad, Emak Ijah adalah seorang emak yang tegar, kuat dan mandiri. Jauh sebelum Abdul Ahad, bapaknya, meninggal dunia, Emak Ijah merupakan seorang wanita yang setia pada profesinya mengurus rumah tangga, anak dan suami.

Namun setelah Abdul Ahad, suaminya, pergi selama-lamanya Emak Ijah harus memilih jalan menjadi seorang emak yang bekerja keras demi anak-anaknya.

Karena itu, karena kemampuan yang dimilikinya hanya berjualan sayur maka emak Ijah hanya menekuni profesi barunya itu untuk menyambung hidup. Namun demikian sikap ramah dan murah senyum masih selalu menghiasi wajah emak Ijah dalam kesehariannya.

Ya, Emak Ijah memang lebih dikenal sebagai penjual sayur keliling. Rumahnya di kilometer 3 Tanjungpinang yang jaraknya hanya beberapa meter dari Kantor Dinas Tenaga Kerja Kabupaten Kepulauan Riau (sebelum berubah jadi Kabupaten Bintan).

Di setiap pagi buta, emak Ijah pergi ke pasar untuk membeli sayuran. Di pasar ini para pemilik sayur yang baru dipanen dari kebun membongkar sayuran yang dibawanya. Emak Ijah kemudian membeli beberapa sayur seperti bayam, terung, nangka muda, kacang panjang, kentang dan sebagainya dengan harga agak murah dan dijualnya kembali.

Setelah tiba di rumah, Emak Ijah membersihkan sayur tersebut satu persatu dan diikat kemudian dimasukkan ke dalam keranjang bambu sebelum akhirnya dibawa keliling kampung untuk dijual lagi. Banyak pelanggan Emak Ijah yang membeli sayur darinya. Setiap hari hasil yang didapat cukup lumayan untuk menghidupi ke lima anaknya.

“Emak memang seorang wanita yang tangguh. Pagi-pagi buta selalu bangun dan pergi ke pasar seusai sholat subuh untuk beli sayuran dan dijual lagi. Meski harus berjuang sendirian, emak tidak pernah menyerah,” kenang Ansar Ahmad.

Namun sekali waktu emaknya pernah bercerita, tentang kebingungan mau berbuat apa setelah suaminya meninggal dunia. Maklum, Emak Ijah tidak punya kemampuan apa-apa selain mengurus rumah dan anak-anak. Begitu suaminya meninggal dunia, Emak Ijah menangis karena memikirkan masa depan anak-anaknya yang masih kecil.

“Kata emak, sampai mau jual rumah dan balik kampung ke Tasikmalaya karena bingung memikirkan kami yang masih kecil-kecil. Tapi setelah dinasehati oleh beberapa orang akhirnya emak tidak jadi jual rumah dan mengurungkan niatnya balik ke kampung halaman,” kata Ansar Ahmad menirukan cerita emaknya.

Salah seorang yang menasehati emaknya adalah Hamdan Said yang saat itu menjabat sebagai Kepala Badan Pertanahan Nasional Kabupaten Kepulauan Riau. Hamdan Said merupakan kawan dekat Abdul Ahad, mendiang suaminya, yang sudah dianggap sebagai saudara sendiri.

Kepada emaknya, kata Ansar Ahmad, Hamdan Said menyarankan agar tetap bertahan di Tanjungpinang dengan usaha sebisanya. Karena kalau menjual rumah dan memilih balik kampung ke Tasikmalaya, dikhawatirkan anak-anaknya tidak betah.

Saat itu, pilihan emaknya mau jual rumah dan balik kampung karena dua saudaranya yakni Rohayah dan Muniroh yang selama ini menemaninya tinggal di Tanjungpinang sudah pulang ke kampung terlebih dahulu setelah Abdul Ahad, suami emak Ijah, meninggal dunia.

“Mungkin emak merasa kesepian dan tidak ada lagi saudara tempat dia berkeluh kesah. Karena itu emak berkeinginan jual rumah dan kembali ke Tasikmalaya. Namun karena diberi saran oleh Pak Hamdan Said akhirnya emak tetap tinggal di Tanjungpinang dan bekerja semampunya untuk menyambung hidup,” tutur Ansar Ahmad menceritakan perjalanan hidup emaknya.

Tentang keinginan Emak Ijah yang ingin menjual rumah dan pekarangan peninggalan Abdul Ahad juga dibenarkan oleh Musarat Sultana, kakak kedua Ansar Ahmad. Menurut Wak Is, panggilan akrabnya, emaknya kebingungan setelah kepergian suami yang dicintainya.

“Bagaimana tidak bingung, suami tidak ada sementara emak harus menghidupi lima orang anak. Saya juga sedih ketika emak berniat menjual rumah dan tanah yang kami tinggali itu,” kata Wak Is.

Namun lama kelamaan niat emak Ijah untuk menjual rumah dan balik kampung diurungkan karena mempertimbangkan anak-anaknya yang perlu masa depan yang lebih baik. Emak Ijah memilih bekerja sebisanya termasuk belajar jualan sayur kepada Emak Pendek, tetangganya itu.

Dan akhirnya pilihan emak Ijah untuk berjualan sayur keliling kampung yang kadang dibantu oleh anak-anak perempuannya itu menghantarkan anak-anaknya menemukan masa depannya dan berhasil. Hidup terkadang memang tidak semua kita tahu tentang akhirnya. Hanya orang-orang yang ulet, konsisten, tahan banting dan kerja keras yang mampu berhasil meraih berbagai pencapaian dan keinginan…