HeadlineLintas Provinsi

Kopi Pahit Pendidikan Tidak Berbasis Budaya

123

Oleh: Suyono Saeran

Fenomena pendidikan, hingga kapan pun akan tetap menjadi topik pembicaraan yang menarik. Menarik, karena pendidikan merupakan proses budaya yang secara terus menerus selalu mengalami perubahan sesuai dengan perkembangan ruang dan waktu. Salah satu perubahan itu adalah terjadinya pergeseran peran otoritas sistem pendidikan yang semula sentralistis menjadi desentralistis.

Konsekuensi dari perubahan tersebut tentu saja berdampak pada aspek pendidikan. Gagasan dan semangat otonomi pendidikan misalnya, merupakan ruang baru yang menjadi wadah untuk menampung berbagai aspek nilai positif yang relevan dengan tuntutan dan kebutuhan kehidupan masyarakat.

Dengan format otonomi daerah, memberikan ruang khas bagi pendidikan untuk menanamkan nilai-nilai budaya menjadi bagian dari aspek edukatif. Strategi dan pendekatan pembelajaran akan memiliki makna dan nilai yang hidup, manakala proses edukatif itu berakar pada nilai-nilai budaya.

Dulu, seperti yang digagas oleh founding fathers kita, bahwa pendidikan merupakan salah satu sarana untuk melihat ragam budaya nasional. Namun, prakteknya kadang keblabasan hingga kadang-kadang budayanya sendiri terlupakan. Nah, dengan era otonomi pendidikan ini, selain sebagaimana yang diharapkan faounding fathers, adalah untuk mewujudkan kembali cita-cita dan harapan bangsa menjadi masyarakat yang berbudaya.

Jika nilai-nilai budaya hilang dari proses pendidikan, maka dampaknya akan bisa kita rasakan pada generasi mendatang. Yakni suatu generasi yang tidak memahami karakter budaya, yang cenderung menyeret kepada perbuatan negatif. Perbuatan negatif tidak saja bagi siswa, tetapi juga guru. Sudah terlalu kenyang kita mendengar tindak kekerasan dan sejumlah pelanggaran hukum lainnya yang semakin hari semakin menjadi-jadi telah mewarnai halaman media online, majalah, media sosial dan media massa lainnya.

Kegagalan pendidikan semacam ini antara lain disebabkan oleh praktek pendidikan yang jauh dari praksis budaya. Sebab, selama ini, aspek kognitif tidak mampu mendorong kesadaran tingkah laku, membimbing perasaan dan kesiapan mental dalam menghadapi perubahan era global.

Suatu kesenjangan terlihat secara transparan bahwa pengetahuan dan cita-cita ideal dalam pendidikan tidak menunjukkan korelasi yang signifikan dalam praksis kesehariannya. Kesenjangan antara diagnosis dan praxis yang dalam kehidupan tidak menunjukkan kepribadian seorang siswa. Padahal, pendidikan adalah investasi nilai-nilai kepribadian menuju kesempurnaan sifat dan kemampuan manusia.

Di Tanjungpinang pendidikan tidak mungkin terlepas dari nilai-nilai budaya. Apa lagi Tanjungpinang dikenal sebagai kota budaya yang selalu menjunjung tinggi adab, kesantunan dan keramahtamahan. Kebudayaan di Tanjungpinang memberi rambu-rambu pada dunia pendidikan agar tidak berjalan di dalam ruang kosong atau di luar nilai luhur masyarakat. Sebagaimana setiap masyarakat memiliki budaya maka praksis pendidikan tidak terlepas dari kebudayaannya.

Jika kita cermati secara mendalam, hakikat pendidikan dan budaya menampakkan hubungan sangat jelas sekali bahwa keduanya terdapat keterkaitan yang erat, bahkan terintegrasi secara praksis pendidikan dan praksis kebudayaan. Pendidikan dapat dirumuskan sebagai suatu proses hominisasi dan proses humanisasi yang berlangsung di dalam lingkungan keluarga serta masyarakat yang berbudaya.

Desentralisasi pendidikan seperti yang saat ini sedang berjalan, berarti proses untuk membuka seluas-luasnya terhadap nilai budaya di masing-masing masyarakat pada suatu daerah. Nilai budaya yang bisa dikaitkan dengan proses pendidikan misalnya nilai moral dan agama, nilai estetika, nilai emosional, nilai ketrampilan, nilai luhur yang telah hidup berabad-abad di dalam suatu masyarakat.

Karena itu, upaya secara praksis pendidikan di Tanjungpinang haruslah mengembangkan seluruh nilai-nilai kebudayaan yang penuh kearifan lokal. Apabila tidak demikian, maka kebudayaan itu mati, atau pendidikan hanya akan menghasilkan manusia-manusia yang pintar atau cerdas tetapi tidak berbudaya.

Hal inilah yang menjadi tujuan utama terpeliharanya suatu kebudayaan kita dalam masyarakat itu. Seperti yang sering didengung-dengungkan bahwa tujuan pendidikan adalah educated and civilized human being. Manusia macam itu hanya dapat dihasilkan oleh suatu sistem pendidikan yang berakar dalam kebudayaan. Dan bukan semata pada pemenuhan ambisi ruang tenaga kerja serta nafsu duniawi globalisasi.

“Pendidikan tanpa berbasis akar budaya ibarat ngopi tanpa gula. Begitu pahit, Tuan”.

Exit mobile version