Scroll untuk baca artikel
HeadlineLintas ProvinsiOpini

Pemekaran Kepri: Antara Harapan dan Realitas Regulasi Oleh : Santos, Wartawan – Tinggal di Batam

159
×

Pemekaran Kepri: Antara Harapan dan Realitas Regulasi Oleh : Santos, Wartawan – Tinggal di Batam

Sebarkan artikel ini

OPINI :

Wacana pemekaran Provinsi Kepulauan Riau kembali mengemuka. Namun, benarkah langkah ini jalan terbaik untuk menjawab persoalan pembangunan di wilayah kepulauan dan perbatasan?

Regulasi Masih “Lampu Merah”

Pembentukan daerah otonom baru (DOB) bukan keputusan politis semata. UU 23/2014 tentang Pemerintahan Daerah dan PP 78/2007 menegaskan, pemekaran hanya bisa dilakukan bila daerah baru dinilai layak secara fiskal, demografis, kelembagaan, dan kewilayahan.

Lebih jauh, pemerintah pusat masih memberlakukan moratorium DOB. DPR sendiri pada Juli 2025 menegaskan, moratorium belum dicabut. Artinya, wacana pemekaran Kepri saat ini secara hukum masih terkunci.

“Selama moratorium DOB belum dicabut, pemekaran Kepri lebih bersifat wacana politik ketimbang agenda kebijakan.”

Demografi & Geospasial: Inti–Pinggiran

Kepri dihuni sekitar 2,27 juta jiwa (2024), dengan pusat populasi di Batam–Bintan–Karimun. Sebaliknya, Natuna, Anambas, dan Lingga memiliki jumlah penduduk kecil dan tersebar di pulau-pulau perbatasan.

Tantangan utama justru bukan pada jumlah provinsi, melainkan akses layanan publik di pulau-pulau terpencil. Pemekaran belum tentu otomatis menyelesaikan problem jarak dan biaya logistik yang mahal.

Ekonomi: FTZ vs Frontier Perbatasan

Ekonomi Kepri bertumpu pada dua kutub:

Batam–Bintan–Karimun (BBK) sebagai mesin industri dan logistik, diperkuat dengan Perpres 1/2024 yang merumuskan rencana induk kawasan perdagangan bebas.

Natuna–Anambas, frontier maritim dengan potensi migas dan perikanan, sekaligus garis depan kedaulatan Indonesia di Laut Natuna Utara.

Memekarkan wilayah justru berpotensi memecah koordinasi FTZ BBK, padahal investasi memerlukan harmonisasi kebijakan lintas daerah. Sementara di Natuna–Anambas, solusi yang lebih mendesak adalah subsidi konektivitas, pembangunan pelabuhan perikanan, dan kehadiran layanan dasar.

Beban Fiskal Tinggi

Pengalaman pemekaran di banyak daerah menunjukkan, biaya tetap untuk membangun gedung pemerintahan, menggaji ASN, hingga membentuk DPRD baru kerap lebih besar daripada manfaat pelayanan. Di wilayah kepulauan dengan akses mahal, risiko ini semakin tinggi.

Geopolitik & Kehadiran Negara

Pulau-pulau terluar Kepri memegang peran strategis dalam menjaga kedaulatan. Namun, penguatan perbatasan tidak harus lewat pemekaran. Penempatan TNI/Polri, Bakamla, serta infrastruktur telekomunikasi dan transportasi publik jauh lebih cepat memberikan dampak bagi keamanan dan kesejahteraan warga.

Alternatif Selain Pemekaran

Alih-alih memaksakan DOB, ada opsi kebijakan yang lebih cepat:

“Islands-first service design”: pelayanan publik berbasis gugus pulau, dengan guru/nakes terbang, telemedisin, hingga kapal logistik.

Penguatan FTZ BBK lewat perizinan terpadu dan investasi terarah.

Afirmasi fiskal kepulauan agar ongkos layanan publik di pulau terpencil mendapat subsidi khusus.

Rekomendasi: Hold–Build–Review

1. Hold: Tunda wacana DOB hingga moratorium dicabut.

2. Build: Fokus pada implementasi Perpres 1/2024 untuk BBK dan pelayanan publik berbasis pulau di Natuna–Anambas.

3. Review: Siapkan kajian akademik netral untuk menguji kelayakan pemekaran jika kelak regulasi berubah.

“Pemekaran bukan obat mujarab. Kehadiran negara di pulau-pulau perbatasan lebih cepat dirasakan lewat kebijakan fungsional dan pendanaan afirmatif.”

Kesimpulan

Pemekaran Kepri memang bisa memberi legitimasi politik baru, tetapi saat ini lebih banyak tantangan ketimbang manfaat. Pilihan yang lebih realistis adalah memperkuat tata kelola FTZ, menurunkan biaya layanan publik di pulau terpencil, serta meningkatkan kehadiran negara di garis depan perbatasan.**