Tanah Datar – Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) kembali diguncang dinamika internal. Kongres yang digelar salah satu faksi di Bandung, alih-alih dianggap sebagai momentum rekonsiliasi, justru dipandang sebagai upaya mempermanenkan perpecahan organisasi yang sudah berlangsung lebih dari lima tahun.
Hal itu diungkapkan oleh Randa Fikri Anugrah, salah satu kader GMNI dari Tanah Datar, Sumatera Barat. Dalam pernyataan opininya, Randa menyebut Kongres Bandung tidak lahir dari proses demokrasi internal yang sehat, serta cacat secara prosedural, partisipatif, dan moral.
“Kongres ini tidak melibatkan seluruh elemen GMNI lintas kubu. Ia tidak dibangun atas semangat musyawarah bersama. Maka bagi kami, forum seperti ini bukan jalan keluar, melainkan perpanjangan krisis yang telah lama menggantung,” tegas Randa.
Dua Kubu, Satu Luka yang Belum Sembuh
Perpecahan GMNI bermula dari dualisme hasil Kongres Ambon pada 2019. Sejak saat itu, organisasi mahasiswa berbasis ideologi Marhaenisme ini berjalan dalam dua struktur yang berbeda. Masing-masing mengklaim legitimasi, membentuk kepengurusan sendiri, serta menggelar aktivitas secara terpisah.
Menurut Randa, kondisi ini telah menjauhkan GMNI dari mandat ideologis Bung Karno. Ia menilai bahwa GMNI bukan sekadar organisasi kemahasiswaan, tetapi amanat sejarah politik yang tak bisa dijalankan dalam kerangka konflik sektoral.
“Jika GMNI terus hidup dalam dua versi yang saling menegasikan, maka itu adalah bentuk pengkhianatan terhadap cita-cita persatuan yang diperjuangkan Bung Karno,” ujarnya.
Marhaenisme Tidak Butuh Dua Panggung
Randa juga menyinggung bahwa perpecahan ini bukan disebabkan perbedaan tafsir ideologi, melainkan ego yang membatu. Ia menilai banyak elit organisasi saat ini lebih memilih membangun panggung sendiri ketimbang duduk satu meja.
“Seandainya kita sungguh Marhaenis, kita akan menyatu untuk merancang strategi perjuangan bersama. Bukan saling berteriak dari dua mimbar yang berbeda,” katanya.
Dalam pandangannya, GMNI hari ini lebih sering menjadi alat kontestasi, bukan alat perjuangan rakyat. Ia menyesalkan bahwa semangat gotong royong yang menjadi inti ideologi Marhaenisme justru hilang dalam praktik organisasi.
Menolak Keabsahan yang Tak Berdaulat
Lebih lanjut, Randa menolak keabsahan Kongres Bandung karena tidak mengakomodasi prinsip inklusivitas dan kedaulatan kader. Menurutnya, sah atau tidaknya sebuah forum organisasi tidak cukup hanya dengan legalitas administratif, tetapi harus juga ditopang oleh legitimasi moral dan kolektif.
“Keabsahan bukan soal siapa yang memegang SK, tapi siapa yang bersedia membangun rumah bersama,” tegasnya.
Seruan untuk Menjemput Persatuan
Sebagai kader, Randa mengajak seluruh elemen GMNI dari berbagai faksi untuk mendorong lahirnya Kongres Persatuan Nasional, sebagai jalan menuju rekonsiliasi organisasi yang sehat dan berlandaskan musyawarah.
“Cukup sudah GMNI dipecah oleh ego. Cukup sudah kongres digelar atas nama legalitas semu. Jika kita benar-benar kader, maka bersatulah atau enyahlah dari sejarah perjuangan ini,” pungkasnya. (**)
Redaksi : Tulisan ini merupakan refleksi kritis dari salah satu kader GMNI dan mencerminkan aspirasi dari arus bawah organisasi yang mendambakan persatuan ideologis dan organisatoris. GMNI, sebagai organisasi yang mengusung ideologi Marhaenisme, diharapkan segera menemukan titik temu melalui ruang musyawarah yang inklusif dan berdaulat. (**)