Opini :
Beberapa saat yang lalu, setelah adanya demonstrasi besar di Jakarta dan beberapa kota besar lain di Indonesia, mencuat tuntutan mahasiswa agar segera diterapkan Undang-Undang tentang perampasan aset. Tuntutan tersebut direspon dengan cepat oleh DPR RI dengan memasukkan nomenklatur tersebut dalam Prolegnas 2025. Berkaitan dengan keputusan DPR untuk segera membahas RUU tersebut, berikut ini akan dikemukakan beberapa catatan kritis sebagai bentuk kontribusi intelektual dalam memberikan partisipasi publik terhadap RUU dimaksud. Catatan ini tidak dimaksudkan untuk menggurui DPR RI tetapi lebih bermakna sebagai pencerahan dan terobosan dalam menghasilkan produk hukum yang positif dan dapat diterapkan dalam masyarakat hukum di seluruh Indonesia.
Dari nomenklatur saja tampak kesesatan berpikirnya sangat destruktif dan mengabaikan asas hukum praduga tidak bersalah (presumption of innocence) yang selama ini dianut paham Eropa Kontinental. Selain itu, nomenklatur perampasan aset bertentangan dengan bahasa hukum yang terukur karena makna merampas artinya mengambil sesuatu secara paksa tanpa melalui prosedur yang benar. Logikanya aparat boleh saja merampas harta orang meski belum ada suatu keputusan hukum yang berkekuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde). Dalam konteks ini terlihat jelas orang menegakkan hukum dengan menabrak hukum.
Dari sudut pandang suatu RUU harus memenuhi paradigma meaningful participation, terminologi perampasan aset belum disepakati semua pemangku kepentingan karena dapat menimbulkan tafsir yang berbeda-beda oleh penegak hukumnya. Belum lagi berkaitan dengan materi muatan dan tata cara yang menjamin hak-hak individu dalam melindungi kepemilikannya terhadap aset dimaksud. Paradigma tersebut perlu diatur dan didiseminasikan secara menyeluruh agar tidak timbul kecenderungan suatu delik tindak pidana terhadap kepemilikan perdata yang saling menderogasi. Kesamaan persepsi tersebut harus diatur secara ketat agar dalam implementasinya tidak terjadi pelanggaran HAM.
Dalam perspektif ini RUU Perampasan Aset harus dibahas secara transparan dan tidak terburu-buru sebagai bentuk respon terhadap tuntutan mahasiswa semata, tetapi RUU ini harus diproses secara hukum dan berdasarkan norma, asas, dan teori hukum murni yang berlaku universal seperti keadilan, kebenaran, dan dapat diterapkan sehingga kesesatan berpikir dalam RUU dimaksud dapat sirna bersama teori, norma, dan asas hukum universal.
Kesesatan berpikir lain yang tampak dalam RUU ini adalah pengaturan tersebut justru tumpang tindih dengan ketentuan yang sudah ada, seperti UU Pemberantasan Korupsi dan UU tentang Pencucian Uang (money laundering). Selain itu, ada ketentuan hukum formil di KUHAP yang berkaitan dengan penyitaan barang yang diduga ada hubungan dengan suatu tindak pidana. Jika semua aparat penegak hukum serius dalam penerapan hukum materiil tentang pemberantasan korupsi, maka RUU perampasan aset dimaksud tidak perlu lagi dibuat karena hanya akan memproduksi ketentuan hukum yang tidak akan efektif dan efisien, apalagi jika aparat penegak hukum tidak progresif dalam menerapkannya.**