Texmaco, BLBI, Sri Mulyani, dan penyitaan aset baru-baru ini menjadi tajuk hangat kembali dalam pemberitaan yang beruntun dan serius, khususnya dalam berita-berita bertajuk ekonomi dan bisnis, namun bukan karena sebuah pemberitaan mengenai pencapaian seperti yang selama ini sudah menjadi bagian dari Texmaco. Lalu ada apa dengan tajuk-tajuk hangat tersebut ?
Setelah melihat beberapa referensi dan mencari tahu sejarah Texmaco, secara garis besar Texmaco adalah perusahaan multinasional yang memproduksi tekstil yang bermarkas di Jakarta, Indonesia.
Perusahaan ini didirikan pada tahun 1966. Perusahaan ini menghasilkan berbagai macam bahan pakaian.
Bos Texmaco adalah Marimutu Sinivasan. Dalam bisnis keluarganya, Sanivasan sebenarnya bukanlah yang pertama kali melakukan bisnis kain, tapi justru ayahnya yakni Sinnaja Marimutu.
Dalam The Role of Governance in Asia (2003:116) dikatakan bahwa Sinnaja Marimutu, yang bekerjasama dalam perdagangan batik dengan Malaya, pindah dari Medan ke Jawa Tengah selama masa konfrontasi dengan Malaysia pada 1960-an.
Marimutu Sinivasan sedari muda sudah terjun dalam bisnis tekstil, setidaknya sejak 1958, setelah menjadi pedagang dia lalu membangun produksi tekstilnya. Dia hijrah ke Jakarta pada 1960 dan dua tahun berikutnya dia berbisnis di Pekalongan.
Disinilah pada 1962 Marimutu mendirikan usaha pintal benangnya, Firma Djaya Perkasa. Nama usahanya setelah 1970 adalah Textile Manufacturing Company (Texmaco).
Marimutu Sinivasan berhasil membeli pabrik batik di Batu pada tahun 1972 dan asetnya terus bertambah di beberapa kota. Tekstilnya tidak hanya untuk kebutuhan dalam negeri, tapi juga luar negeri. Setelah berhasil dalam bidang tekstil, bisnis Texmaco kemudian merambah ke bidang otomotif.
Pelebaran sayap usaha ini membawa Texmaco kemudian dengan cepat dikenal dan dilirik oleh pembesar negara pada saat itu, yakni Presiden Soeharto. Tentunya setelah itu adalah hal yang wajar apabila Presiden ataupun keluarganya juga tertarik dan memberi andil dalam keberlangsungan dan perluasan Texmaco lebih lanjut.
Dinyatakan pailit, dikejar oleh Menteri Keuangan, dan penyitaan aset.
Texmaco yang sukses, kemudian menghiasi pemberitaan dengan tajuk pailit. Mengapa bisa? Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati pun membeberkan kronologi awalnya, yaitu pada saat terjadi krisis keuangan tahun 1998, Grup Texmaco meminjam uang ke berbagai bank, mulai dari bank BUMN hingga swasta, kemudian bank-bank tersebut di-bailout atau ditalangi oleh pemerintah pada saat terjadi krisis dan penutupan bank.
Dalam penceritaan singkat, menurut Sri Mulyani, pada 2005 pemilik Grup Texmaco mengakui utangnya kepada pemerintah melalui Akta Kesanggupan, di mana pemilik menyampaikan bahwa hak tagih pemerintah kepada Texmaco sebesar Rp 29 triliun berikut jaminannya. Dinyatakan Sri Mulyani dalam suatu jumpa pers di Jakarta bahwa dalam perkembangan selanjutnya, pemilik Texmaco tidak memenuhi akta kesanggupan tersebut. Akan tetapi justru melakukan gugatan ke Pemerintah dan melakukan penjualan beberapa aset milik operating company-nya.
Namun menurut Sinivasan, penjualan aset itu dilakukan untuk menanggulangi pembiayaan sebagian operating companynya, seperti membayar biaya operasional dan membayar gaji karyawan. Sedangkan untuk kepastian besar utang Texmaco, Marimutu Sinivasan telah mengajukan gugatan ke Pengadilan, karena Sinivasan hanya mengakui utangnya sebesar 8 trilun lebih dan sifat utang itu ialah utang komersial, bukan utang dana talangan BLBI.
Sementara menurut Sri Mulyani, Pemerintah sudah berkali-kali memberikan ruang bahkan mendukung agar perusahaannya yang memang masih jalan agar bisa berjalan, namun tidak ada sedikitpun ada tanda-tanda akan melakukan itikad untuk membayar kembali utang-utangnya.
Sebaliknya menurut Sinivasan, ia sudah berkali-kali berkirim surat ke Menteri Keuangan dan ke Dirjend Kekayaan Negara untuk minta waktu audiensi guna membicarakan masalah penyelesaian utang Texmaco, namun tidak pernah mendapat tanggapan.
Pada akhirnya, cerita tentang Texmaco berlanjut dengan langkah Pemerintah melakukan eksekusi terhadap aset Grup Texmaco.
Pada kenyataannya keputusan ini dibanyak pemberitaan memberi kesan cukup rapid dan bounce of the walls sehingga menimbulkan pertanyaan, apakah pengejaran Texmaco bukan hanya semata-mata Texmaco itu sendiri, tetapi mengejar sesuatu dibaliknya yakni membidik pemeran yang memiliki andil besar juga didalamnya?
Solusi
menghadapi kontroversi
Di satu sisi pemenuhan kewajiban pembayaran utang oleh Texmaco adalah hal yang wajib, jika dilihat dari kacamata pemerintah dan hal itu terkait dengan keuangan negara. Namun sisi lain, kepailitan yang berujung penyitaan aset terhadap Texmaco juga dapat berakibat fatal bagi keberlangsungan Texmaco dan “ekosistem”nya.
Ada hal-hal lain yang juga perlu dipandang selain Texmaco itu sendiri seperti halnya lapangan pekerjaan dalam lingkupnya, kehidupan para pekerjanya, sekolah-sekolah yang telah didirikannya, dan imbasan – imbasan lain yang dapat mempengaruhi geliat industri, ekonomi, pendidikan dan lain sebagainya.
Melihat pencapaian yang selama ini diraih oleh Texmaco dengan sejarah perkembangannya yang luar biasa bahkan bisa dikatakan telah memberi peran membawa Indonesia pada dimensi step forward bukan hanya dibidang tekstil, tetapi juga di bidang lain seperti Otomotif, Ekonomi, Pendidikan, dan sebagainya, maka Pemerintah perlu memberi peluang untuk duduk bersama dengan Texmaco guna mendapatkan mufakat yang baik akan permasalahan yang sama-sama dihadapi dari masing-masing sudut pandang sehingga Texmaco yang terlihat hampir mati suri dapat bangkit bergairah lagi dalam dunia yang digeluti selama ini tanpa mengesampingkan aturan dan regulasi yang berlaku sesuai dengan ketentuan yang ada.
Ada satu amsal yang menyatakan “Buluh yang terkulai takkan dipatahkannya, sumbu yang telah padam nyalanya tidak akan dipadamkannya, tetapi dengan setia ia menyatakan hukum”.
Demikian adanya diharapkan yang berlaku antara Pemerintah dan Texmaco. ( fw)