Jakarta,- Kepala Kepolisian Daerah (Kapolda) Nusa Tenggara Timur (NTT), Irjen. Pol. Drs. Setyo Budiyanto, S.H., M.H. diminta untuk memerintahkan Direktur Kriminal Khusus (Dirkrimsus) Polda NTT untuk menjunjung tinggi Undang-Undang Pers Nomor 40 Tahun 1999 Tentang Pers dan mempetieskan laporan Direktur Utama (Dirut) Bank NTT, Harry Alexander Riwu Kaho (HARK) terhadap Dirut dan Pemred KORANTIMOR.COM (FPL dan KDO) terkait dugaan penghinaan/pencemaran nama baik melalui media eletronik (diduga terkait pemberitaan media online KORANTIMOR.com, red). Sebaliknya, mengarahkan HARK untuk menempuh mekanisme penyelesaian sengketa pers sebagaimana perintah UU Pers Nomor 40 Tahun 1999 dan Kode Etik Jurnalistik (KEJ), yaitu melayangkan hak jawab atau hak klarifikasi, jika HARK merasa dirugikan terkait pemberitaan.
Demikian permintaan Ketua Dewan Pembina Lembaga Hukum dan Ham PADMA INDONESIA sekaligus Ketua KOMPAK INDONESIA (Koalisi Masyarakat Pemberantasan Korupsi Indonesia), Gabriel Goa dalam rilis tertulis kepada tim media ini pada Jumat (12/08/2022).
“Terpanggil untuk membela Pers sebagai salah satu pilar demokrasi dan lembaga kontrol terhadap kebijakan publik dan penyalahgunaan kekuasaan oleh Penguasa, maka kami dari Lembaga Hukum dan Ham PADMA INDONESIA (Pelayanan Advokasi untuk Keadilan dan Perdamaian) mendesak Kapolda NTT perintahkan Dirkrimsus Polda NTT dan jajarannya untuk menjunjung tinggi UU Pers dan MoU Kesepakatan antara Dewan Pers dan Mabes Polri, agar menganjurkan kepada Dirut Bank NTT melakukan Hak Jawab dan Hak Koreksi kepada media yang bersangkutan, bukan langsung Lapor ke Polda NTT. Jadi proses laporan Dirut Bank NTT itu harus dioetieskan demi hukum dan kebebasan pers,” tandasnya.
Menurut Gabriel Goa, Polda NTT dalam menangani pengaduan masyarakat (termasuk Dirut bank NTT, HARK, red) terkait sengketa pers seharusnya berpedoman pada MoU Dewan Pers dan Polri Tahun 2022 (Nomor 3/DP/MoU/III/2022) Tentang Koordinasi Dalam Perlindungan Kemerdekaan Pers dan Penegakan Hukum Terkait Penyalahgunaan Profesi Wartawan.
Ia menjelaskan, pada pasal 4 ayat 2 MoU Dewan Pers dan Polri tersebut ditegaskan, bahwa apabila pihak KEDUA yaitu Polri menerima perselisihan/sengketa termasuk surat pembaca atau opini/kolom atau produk pers lainnya antara wartawan/media dengan masyarakat, maka Polri dapat mengarahkan Pihak pelapor/pengadu untuk melakukan langkah-langkah secara bertahap dan berjenjang mulai dari menggunakan hak jawab, hak koreksi dan pengaduan kepada PlHAK PERTAMA yaitu Dewan Pers.
“Jadi Dirkrimsus Polda NTT harus mengarahkan HARK untuk mengikuti mekanisme penyelesaian sengketa pers. Bukan serta merta menerima saja laporan pelapor dan memprosesnya tanpa analisis koridor hukum yang tepat. Apalagi menggunakan UU ITE mengikuti kemauan pelapor untuk selesaikan sengketa pers. Itu keliru dan salah kapra namanya,” kritiknya.
UU Pers Nomor 40 Tahun 1999 pasal 6, lanjutnya, menegaskan bahwa Pers nasional melaksanakan peran pengawasan, kritik, koreksi, dan saran terhadap hal-hal yang berkaitan dengan kepentingan umum (point d); Pers nasional memperjuangkan keadilan (point e) dan wartawan dalam menjalankan profesinya juga mendapatkan perlindungan hukum.
“Jika HARK merasa dirugikan terkait pemberitaan media korantimor.com yang ditulis wartawan, maka sebagaimana perintah pasal 1 ayat 11 dan 12 UU Pers, HARK perlu melayangkan hak jawab dan atau hak koreksi. Dan media atau Pers bersangkutan juga wajib melayani hak jawab dan hak koreksi sebagaimana perintah UU Pers pasal 5 ayat 2 dan 3. Wartawan Indonesia juga melayani hak jawab dan hak koreksi secara proporsional sebagaimana diatur dalam KEJ pasal 11. Jadi keliru jika HARK buru-buru dan bernafsu melaporkan wartawan ke polisi hanya karena berita yang ditulis seorang wartawan, apalagi menggunakan Undang-Undang ITE untuk mempersoalkan produk pers,” kritiknya lagi.
Sangat disayangkan, ujarnya lebih lanjut, pihak Polda NTT tidak memahami atau bahkan diduga pura-pura tidak tahu adanya MoU antara Dewan Pers dan Polri Tahun 2022 terkait Koordinasi Dalam Perlindungan Kemerdekaan Pers dan Penegakan Hukum Terkait Penyalahgunaan Profesi Wartawan.
Ketua Pembina Padma Indonesia itu juga mendukung total Pers yang berani membongkar kejahatan korupsi berjamaah di NTT dan konspirasi upaya pembunuhan Pers Pejuang di Indonesia, khususnya di NTT.
“Kami juga mendesak Solidaritas Masyarakat Dunia melawan Kriminalisasi Hukum dan Diskriminasi HAM terhadap Wartawan dan Wong Tjilik di NTT yang diduga kuat dibekingi oleh Kaum Kuat Kuasa dan Kuat Modal,” ujarnya.
Seperti diberitakan sebelumnya (12/08), Direktur Utama (Dirut) dan Pemimpin Redaksi (Pemred) media online Koran Timor.Com, FPL dan KDO dilaporkan Harry Alexander Riwu Kaho (Direktur Utama/Dirut Bank NTT, red) ke Polda NTT terkait dugaan pencemaran nama baik di media eletronik.
Hal itu diketahui melalui Surat Undangan Klarifikasi yang dikeluarkan Direskrimsus Polda NTT (Nomor B/640/VIII/2022/Direskrimsus tertanggal 09 Agustus 2022) terkait laporan Harry Alexander Riwu Kaho tanggal 16 Mei 2022 tentang dugaan tindak pidana penghinaan dan/atau pencemaran nama baik melalui media elektronik.
“Sehubungan dengan rujukan tersebut di atas, diminta kepada saudara untuk dapat memberikan keterangan sebagai saksi kepada penyidik / penyidik pembantu Subdit 5 Siber Ditreskrimsus Polda NTT terkait dengan perkara dugaan tindak pidana penghinaan dan/atau pencemaran nama baik melalui media elektronik yang dilaporkan oleh saudara Hary Alexander Riwu Kaho, S.H., M.H sebagaimana diatur dalam pasal 45 ayat (3) jo Pasal 27 ayat (3) Undang-Undang Nomor 11 tahun 2008 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang tentang Informasi dan Transaksi Elektronik,” tulis Ditreskrimsus Polda NTT.
Dalam Surat Panggilan yang ditandatangani oleh Wadir Krimsus Polda NTT, AKBP Khairul Saleh, SH, SIK, M.Si tersebut, para pimpinan media online diminta menghadap penyidik/penyidik pembantu Subdit 5 Siber Ditreskrimsus Polda NTT, Ipda Joel Ndolu, S.H/Brigpol A. Muhammad Tupong pada Kamis (11/08/2022) pukul 10.00 Wita.
Dirut dan Pemred media online KORANTIMOR.com, FPL dan KDO yang dikonfirmasi wartawan membenarkan adanya undangan klarifikasi dari Ditreskrimsus Polda NTT. Namun, keduanya mengaku belum tahu jelas apa maksud dan konteks undangan klarifikasi Ditreskrimsus Polda NTT terkait laporan dugaan pelanggaran UU ITE tentang pencemaran nama baik, sebagaimana dimaksud laporan HARK.
“Isi Surat Undangannya tidak jelas. Berita yang mana? Atau konten mana yang mencemarkan nama baiknya (HARK)? Di media eletronik yang mana? Harus jelas, apakah di media online? WhatsApp? FB? Di Instagram kah? Atau YouTube? Penyidik harus mampu membedakan antara media berita online dan media sosial (medsos). Jangan salah kaprah,” kritik FPL.
Karena isi Surat Undangan tidak jelas, lanjut FPL, pihaknya menolak untuk menghadiri undangan tersebut. “Kami tolak untuk hadir. Isi undangan klarifikasi itu harus jelas sehingga kami bisa mengetahui masalahnya dan mempertimbangkan secara hukum, apakah kami perlu hadir atau tidak? Karena kalau berkaitan dengan pemberitaan atau karya jurnalistik atau sengketa/delik pers, wartawan tidak bisa dijerat dengan Pasal-Pasal dalam KUHP atau UU ITE,” tandasnya.
FPL sangat menyesalkan minimnya pemahaman penyidik kepolisian terkait UU Pers dan MoU antara Kapolri dan Dewan Pers terkait prosedur penyelesaian Sengketa Pers. “Kalau penyidik kepolisian tidak paham UU Pers dan MoU antara Kapolri dan Dewan Pers, yah begini jadinya. Laporan Sengketa Karya jurnalistik dipaksakan untuk diproses dengan UU ITE. Bagi saya, baik yang melapor dan menerima serta memproses laporan pidana Sengketa Jurnalistik, sama-sama tidak paham,” kritiknya.
Hal senada juga dikatakan Pemred Koran Timor.Com, KDO. Menurutnya, jika yang dimaksudkan Ditreskrimsus Polda NTT terkait undangan klarifikasinya adalah terkait pemberitaan atau produk jurnalistik yang ditayang di media online korantimor.com yang mana HARK merasa dirugikan, maka harus diproses sesuai Undang-Undang Pers Nomor 40 Tahun 1999 dan Mou (Nota Kesepahaman, red) Antara Dewan Pers dan Kapolri Nomor 03/DP/MoU/III/2022 – Nomor NK/4/III/2022 tentang Koordinasi dalam Perlindungan Kemerdekaan Pers dan Penegakan Hukum Terkait Penyalahgunaan Profesi Wartawan.
“Polda NTT wajib mengarahkan pelapor yaitu HARK (Dirut Bank NTT saat ini, red) untuk menempuh mekanisme penyelesaian sengketa pers sebagaimana diatur dalam UU Pers dan MoU tersebut. Bukan asal terima laporan sengketa pers lalu panggil wartawan dan diperiksa. Itu namanya kriminalisasi pers,” tegas KDO.
Sesuai MoU Kapolri dan Dewan Pers, papar KDO, sudah sangat jelas. “Ketika polisi mendapat pengaduan pidana terkait Sengketa Pers, maka tugas polisi adalah mengarahkan pelapor saudara HARK untuk menempuh mekanisme penyelesaian sengketa pers. Bukan lagi memaksakan kerangka pasal UU ITE untuk menyelesaikan Sengketa Pers,” tandas dua wartawan yang dikenal aktif memberitakan kasus dugaan korupsi di bank NTT. (.tim)