Scroll untuk baca artikel
Example 325x300
HeadlineOlahraga

JAMAN MAKIN MAJU, PERADABAN SEPAKBOLA INDONESIA MAKIN PRIMITIF 

100
×

JAMAN MAKIN MAJU, PERADABAN SEPAKBOLA INDONESIA MAKIN PRIMITIF 

Sebarkan artikel ini

STADION UTAMA SENAYAN, 23 Februari 1985

Final Perserikatan antara PSMS versus PERSIB adalah pertandingan paling bersejarah dalam sepakbola Indonesia, bahkan menjadi catatan sejarah sepakbola dunia. Laga panas tersebut mencatat rekor sebagai pertandingan sepakbola amatir dengan penonton terbanyak di dunia, dengan jumlah penonton sebanyak 150.000 orang.

Kapasitas Stadion Utama Senayan pada saat itu memang masih mampu menampung hingga 120.000 orang, karena tidak menggunakan single seat. Antusias para pendukung Persib dan PSMS yang berada di luar stadion akhirnya mendobrak pagar stadion dan meringsek hampir ke pinggir lapangan hijau.

Kick off pun sempat tertunda 20 menit karena pemainpun kesulitan memasuki lapangan dari ruang ganti akibat ribuan penonton yang berdesakan di area tracking atletik. Petugas kewalahan mengendalikan gelombang massa dengan hanya bermodalkan “pentungan” pada saat itu.

Tanpa tameng, tanpa senjata dan TANPA GAS AIR MATA

Pertandingan berlangsung selama 120 menit dan sangat sengit. PSMS unggul di babak pertama hasil torehan M. Sidik di menit 15 dan 35. Gol balasan pertama Persib dicetak pada babak ke dua melalui titik putih oleh Iwan Sunarya di menit 65. Berselang 10 menit, Ajat Sudrajat akhirnya menyamakan kedudukan. Dan pertandingan berakhir seri hingga menit 90. Dilanjutkan dengan perpanjangan waktu, hingga menit 120 dan golpun tidak bertambah.

Gelar juara harus ditentukan dengan adu penalti. Ponirin Meka mampu menahan tendangan eksekusi Adeng Hudaya, Dede Iskandar dan Robby Darwis. Dan Sobur, kiper Persib tak mampu menahan sepakan Mamek Sudiono, sebagai eksekutor terakhir. Akhirnya PSMS unggul dalam drama adu pinalti. Para pendukung PSMS tumpah ruah berlarian ke lapangan hijau memeluk-meluk para pemain PSMS.

Saat itu, petugas keamanan khawatir akan terjadi kericuhan karena kekalahan Persib, mengingat jumlah petugas yang sangat tidak sebanding dengan jumlah masa yang memang didominasi oleh Bobotoh. Dengan personil dan perangkat serta perlatan yang sangat terbatas, petugas masih mampu mengendalikan keamanan. Kalaupun ada kejadian ricuh, itupun sangat minor. Hanya sekelompok kecil pendukung Persib yang meluapkan kekalahan timnya dengan menendang-nendang fasilitas umum. Itupun Bobotoh lainnya malah mengingatkan pelaku agar tidak melakukan tindakan-tindakan anarkis tersebut. Tidak ada tindakan petugas yang represif. Dan penontonpun sangat menghormati petugas keamanan yang bertugas dengan segala kondisi yang terbatas. Respek.

Stadion yang sekarang dinamai Gelora Bung Karno (GBK) itu menjadi saksi bisu pesta pora para penyokong Ayam Kinantan dan tangis para Bobotoh. Penonton membubarkan diri dengan tawa dan air mata, BUKAN KARENA GAS AIR MATA.

Saat itu memang belum ada kelompok-kelompok supporter, belum ada warna warni jersey sebagai identitas kelompok supporter, belum ada yel yel atau nyanyian-nyanyian kebencian. Yang ada hanya nyanyian kemenangan dan kebahagiaan. Sebaliknya, memang ada tangisan. Tetapi di dalam tangispun tidak ada dendam dan permusuhan yang mewaris. Sebab sepakbola memang hiburan yang kadang berakhir dramatis dan tentunya tidak perlu TRAGIS

KANJURUHAN, 1 Oktober 2022

Pertandingan antara AREMA menjamu PERSEBAYA berakhir dengan catatan sejarah kelam sepakbola dunia. 125 supporter menjadi mayat. Sebagian besar di antaranya anak remaja. Sebagian lagi anak-anak. Bahkan di antaranya ada pasangan suami istri. Mereka tewas di tengah gumpalan asap gas air mata yang dilontarkan petugas keamanan. Sebagian menghembuskan nafas terakhir di rumah sakit.

Pertandingan yang hanya ditonton oleh Aremania itu berakhir dengan kerusuhan kolosal. Berawal dari kekalahan yang dialami Arema dengan skor tipis 2-3. Penonton turun dari tribun tumpah ke dalam lapangan, mobil petugas dirusak dan dibakar, aksi lempar dan adu jotos antara petugas dan suporter nampak meramaikan video-vidio amatir yang beredar di medsos. Petugas kewalahan mengendalikan massa. Ratusan korban harus diboyong ke rumah sakit, akibat terinjak-injak karena berdesakan untuk keluar dari dalam stadion. Petugaspun jatuh korban.

Kacamata dunia sepakbola tertuju ke Kanjuruhan malam itu. Jumlah korban tercatat penempati posisi ke dua dalam catatan dunia, korban terbanyak karena kerusuhan sepakbola di dalam stadion. Jumlah terbanyak, yang terjadi pada tahun 1964 di Estadia Nacional, Lima, Peru yang menelan korban hingga 328 orang.

Sepakbola Indonesia belakangan semakin bar-bar. Suporter tawuran, saling membunuh. Pemain saling pukul dan tendang bak pemain kungfu. Pemain memukul perangkat pertandingan. Mengeroyok wasit pun adalah hal yang biasa. Bahkan ada official yang juga ikut memukuli wasit. Fasilitas stadion dirusak dan dibakar, itupun sudah menjadi berita yang membosankan untuk ditonton. Petugas keamananpun dilawan tanpa rasa takut. Semua bisa terjadi mulai dari level tarkam yang amatir hingga liga paling elit dan pro sekalipun.

Mengapa hal seperti ini terjadi berulang dan membesar bak gulingan bola salju sejak kompetisi sepakbola Indonesia ‘mengaku’ sudah masuk pada era industry sporteiment? Di mana entertainya? Kick off malam untuk kejar rating broadcast?

Mengapa sepakbola kita dulu lebih beradab? Apa yang salah? Di mana salahnya?

Tentunya ada hal yang sangat mendasar yang belum mampu diterapkan oleh federasi sebagai pemilik hajat kompetisi sepakbola. Yaitu peraturan atau REGULASI. Pun ada regulasi tapi tak punya kekuatan supremasi. Artinya ada kesalahan fundamental yang sudah kandung akut yang dilakukan oleh federasi selama ini. Penegakan aturan yang selalu berujung dengan 86. Jangankan dalam sepakbola, di dalam bangsa ini bernegarapun hukumnya tidak suprematif. Tidak heran malah sering diskriminatif.

Sepakbola Inggris juga pernah mengalami fase ‘primitif’ seperti ini. Sebanyak 96 orang supporter tewas di Hillsborough, Sheffield. Namun paska kejadian tersebut, seluruh pihak yang terlibat dalam sepakbola di Inggris instrospeksi dan evaluasi.

Hasilnya, hari ini kita bisa menonton liga Inggris sambil minum bir dan membawa anak-anak, istri dan pacar ke stadion dengan rasa gembira dan tanpa khawatir akan terjadi kerusuhan yang mengancam jiwa. Itu semua bisa terjadi karena penegakan aturan yang tegas dan kuatnya supremasi hukum dalam sepakbola. Dan tentunya dibarengi dengan kewibawaan pengurus dan penegak hukumnya.

Karena salah satu faktor fundamental penyebab kerusuhan yang terjadi di Kanjuruhan yang banyak memakan korban adalah akumulasi ketidak becusan pengurus dan pengelola sepakbola di republik ini. Setiap periode kepengurusan hanya melahirkan pengurus yang tidak profesional dan bermental buruk dalam mengelola sepakbola.

Kemana peradaban sepakbola Indonesia yang dulu? Mengapa sepakbola di negeri ini tidak diurus oleh orang yang punya hati yang humanis, sportif dan holistik? Mengapa sekarang sepakbola malah dijadikan tunggangan politik? Hingga akhirnya selain adabnya yang merosot, prestasinyapun anjlok.

PSSI sebagai federasi sepakbola di republik ini harus bertanggung jawab atas tragedi Kanjuruhan yang berakhir tragis karena bobroknya dalam penerapan regulasi.

Sampai kapan kita akan terus menambah batu nisa di stadion? Ingat stadion adalah tempat hiburan. BUKAN KUBURAN

Parto Bangun Pangaribuan (PARTOBA)
Sekjen Indonesia Football Forever ( fw)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *