( Photo : Bupati Malaka, Simon Nahak Saat Melaunching Beras Nona Malaka di Betun – Ibu Kota Kabupaten Malaka – Provinsi NTT)
Program Swasembada Pangan
Salah satu program kerja utama Bupati dan Wakil Bupati Malaka, Dr. Simon Nahak dan Kim Taolin (SN-KT) sejak awal kampaye calon Bupati dan Wakil Bupati Malaka tahun 2020 adalah Kabupaten Malaka Swasembada Pangan. Keduanya bertekat memenuhi kebutuhan pangan (22.240 ton beras/tahun, red) bagi 197.022 jiwa masyarakat Malaka secara mandiri tanpa perlu mendatangkan (import, red) bahan pangan dari daerah lain. Program ini berhasil membius telinga dan hati publik Malaka memantapkan pilihan dan harapannya kepada SN-KT, untuk membawa Malaka menjadi daerah yang berlimpah pangan. Saat itu, masyarakat tampak sangat tergoda dan terhibur rayuan manis program ini. Pasangan ini pun sukses menduduki pucuk pimpinan Daerah Kabupaten Malaka sejak tahun 2021 hingga saat ini.
Pernah dalam Jumpa Pers 100 Hari Kerja Kepemimpinan SN-KT pada Senin (04/10/2021) di Aula Kantor Bupati Malaka, Bupati SN menyebut sejumlah investasi besar telah dilakukan Pemerintahan SN-KT untuk mewujudkan program swasembada pangan Kabupaten Malaka, diantaranya yaitu dukungan 128 unit alsintan (alat sistem pertanian) seperti tractor (cultivator) untuk cultivasi lahan pertanian (sawah dan ladang, red) milik warga secara gratis. SN menyebut per September 2021, pemerintahannya telah berhasil mengolah 380,7 hektar lahan petani secara gratis. Lalu akan mengadakan benih padi untuk dikembangkan pada 3.500 hektar lahan di sejumlah wilayah kecamatan di Kabupaten Malaka dan dua (2) unit rumah pengolahan hasil padi dilengkapi dengan mesin giling, mesin poles dan mesin pengering untuk mewujudkan mimpi SN-KT akan Brand Beras Nona Malaka.
Selain benih padi, Bupati SN juga menyebut akan menyediakan benih jagung hibrida untuk 9000 hektar lahan dan jenis komposit untuk 200 hektar lahan di Malaka. Bahkan terkait itu, pemerintahan SN-KT juga menyiapkan pupuk bagi 1500 kelompok tani. Tidak hanya itu, Bupati Malaka, SN menurunkan para pendamping atau tenaga ahli yang untuk mendampingi petani/kelompok tani. Untuk mendukung hal tersebut, SN juga berbicara tentang dukungan sumber daya air atau irigasi untuk mengairi lahan pertanian masyarakat dan jalan tani untuk akses transportasi menuju lahan pertanian masyarakat. Dan Bupati sendiri mengaku, semuanya itu mendapat dukungan pemerintah pusat. (https://kupang.tribunnews.com/2021/10/06/program-swasembada-pangan-sn-kt-tidak-sebatas-wacana).
Di 15 Desember 2022 atau tiga hari setelah peluncuran brand Beras Nona Malaka, Bupati SN bahkan dengan penuh percaya diri dan bangga memproklamasikan melalui media online, bahwa Kabupaten Malaka surpus beras 472 ton karena berhasil memproduksi beras sebanyak 22.712 ton dari total jumlah 36.200 ton gabah kering giling yang dihasilkan. (https://www.floreseditorial.com/news/pr-3976082287/tahun-2022-kabupaten-malaka-surplus-beras-472-ton, 15 Desember 2022). Sebagai anak daerah, tentu kita mengapresiasi mimpi besar dan capaian SN-KT itu.
” Bagian Rapuh Mimpi SN-KT Menuju Swasembada Pangan”
Walau demikian capaian SN-KT, jalannya implementasi program swasembada pangan SN-KT tidak luput dari berbagai persoalan serius, yang ibarat noda hitam merusak niat murni atau cita-cita luhur SN-KT, dan bahkan menghambat mimpi SN-KT untuk menjadikan Malaka mandiri secara pangan.
Pertama, terbatasnya dukungan infrastruktur pertanian yang menunjang produksi petani seperti irigasi, benih dan pupuk serta alat dan mesin pertanian. Pemda Malaka saat ini mengoptimalkan produksi melalui peningkatan luas tanam tanpa memperhatikan ketersediaan sumber daya air, sehingga masyarakat petani mengalami kekurangan air untuk mengolah lahan pertaniannya.
Masyarakat petani juga masih mengalami persoalan kekurangan dan ketidaktersediaan bibit/benih berkualitas baik padi dan jagung maupun kacang-kacangan. Hal ini terjadi, karena pemerintah tidak pernah mempersiapkan penangkar benih di daerah sendiri, tetapi cenderung membeli dari daerah lain. Hal inilah yang akan menciptakan potensi persoalan baru yaitu korupsi kolusi dan nepotisme antara supplier alat dan obat-obatan pertanian dengan pemilik proyek. Lebih dari itu, benih yang akan didistribusikan ke petani bisa saja merupakan benih dengan kualitas produksi yang rendah.
Hal lain, yaitu kurangnya ketersediaan pupuk bersubsidi bagi petani. Dalam keadaan mendesak, petani terpaksa harus membeli pupuk non subsidi yang harganya mencekik petani, bahkan ada petani yang karena tidak sanggup membeli pupuk non subsidi, produksi lahan pertaniannya tidak maksimal.
Sementara itu, dukungan alat system pertanian/Alsistan bagi petani juga masih terbatas. Hemat penulis, adalah tidak mungkin meningkatkan luas lahan pertanian dan tingkat produksi petani tanpa dukungan alat dan mesin pertanian yang menjangkau semua petani sebagai sumber produksi pangan. Temuan faktual di lapangan, bahwa alat dan mesin pertanian yang saat ini ada di masyarakat, sebagian besar dikuasai segelintir orang, terutama para ketua kelompok tani. Sebagai contoh, tractor yang disumbangkan ke kelompok tani hanya dikuasai oleh ketua kelompok atau salah satu anggota yang memiliki hubungan dekat dengan salah satu pejabat di pemerintahan.
Kedua, Penelantaran Alsistan dan Pendistribusian Tidak Tepat Sasaran. Berdasarkan penelusuran penulis, saat ini ALSINTAN yang tercatat pada Dinas Pertanian Malaka berupa 60 unit traktor roda 4, mesin alat panen padi dan alat panen jagung, 2 unit exavator dan beberapa jenis lainnya. Saat ini hanya 6 unit dari 60 unit tractor yang berfungsi baik, sedangkan sisa lainnya berpotensi mejadi besi tua. Pemerintah Kabupaten Malaka yang dipimpin Bupati SN juga seakan tidak peduli untuk merawat dan memperbaiki alat-alat tersebut dan dibiarkan terbengkalai.
Pendistribusian dan pemanfaatan Alsistan milik Pemda Malaka juga terkesan hanya melayani kebutuhan Tim Sukses dan bukan kebutuhan masyarakat seutuhnya. Terbukti, sebagian besar Alsistan tersebut rusak di tangan para tim sukses. Padahal Alsistan tersebut dibeli dengan uang rakyat, bukan dengan uang tim sukses. Asset-aset tersebut tampak tercecer di berbagai pelosok wilayah Malaka, menyusuri rumah atau lahan para Tim Sukses SN-KT. Seharusnya alat-alat tersebut digunakan semaksimal mungkin untuk kepentingan rakyat, bukan untuk kepentingan tim sukses.
Dari hasil penelusuran penulis, di tahun 2021 terdeteksi ada 4 unit tractor roda empat dan 1 unit excavator serta 1 unit truck berwarna putih milik Distan Malaka diberikan oleh Plt. Kadis Pertanian Malaka kepada seorang pengusaha di desa Lorotolus. Alat-alat tersebut diduga diserahkan kepada pengusa tersebut tanpa ada ikatan perjanjian apapun, seakan Alsistan tersebut adalah barang milik pribadi. Menurut informasi sumber terpercaya, satu unit excavator dimaksud saat ini sedang dikelola oleh seorang anggota DPRD Malaka yang adalah anggota keluarga Kadistan Malaka saat ini. Alat tersebut dioperasikan pertama di Desa Klese Leon dan Motaulun serta di kebun pribadi milik Kepala Dinas Pertanian Malaka. Sumber yang sama juga menyebut, bahwa alat ini beroperasi dengan biaya Bahan Bakar Minyak dan biaya perbaikan dari Dinas Pertanian.
Sementara itu, alat panen padi yang masih memiliki sper-part yang baik juga dipreteli untuk dipasang pada alat bukan milik Dinas Pertanian. Penelusuran tim media menemukan, pada hari Minggu tanggal 11 Juni 2023 malam, sejumlah orang tak dikenal datang ke kantor Dinas Pertanian Malaka dan dengan dibantu oleh seorang penjaga kantor, mereka membongkar roda dan alat lain pada mesin panen tersebut. Mereka lalu membawa mesin tersebut keluar untuk dipasang pada alat panen milik pribadi bukan milik Distan. Hal tersebut menunjukkan, bahwa pengelolaan Alsistan untuk mendukung program swasembada pangan tidak transparan dan akuntabel, bahkan sembraut dan membuka peluang pada perbuatan korupsi di Dinas Pertanian.
Ketiga, Potensi Dugaan Korupsi. Program swasembada pangan SN-KT juga tidak lepas dari dugaan praktek KKN (korupsi, kolusi, dan nepotisme). Beberapa kasus diantaranya yaitu penunjukkan penyedia barang dan jasa pada Dinas Pertanian Malaka ditangani langsung oleh Kepala Dinas Pertanian tanpa melalui aturan Kepres tentang pengadaan barang dan jasa pemerintah. Sedangkan Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) diangkat hanya untuk memenuhi syarat administrasi saja. Sebagai contoh, penyediaan benih padi untuk tahun 2023, Kadistan mengharuskan agar proyek tersebut diberikan kepada sebuah perusahaan yang berdomisili di kota Surabaya. “Ada apa denganmu Kadistan Malaka? Ada apa antara pengusaha di Surabaya dengan kadistan Malaka? Kadistan Malaka juga menunjuk beberapa kerabat keluarganya untuk melaksanakan sejumlah proyek fisik dan pengawasan seperti sumur bor, jaringan irigasi, embung dan sejumlah proyek lainnya. Kebijakan tersebut sangat berpeluang terjadi pungli atau gratifikasi.
Selain itu, juga ditahun 2022 dan 2023 ditemukan adanya proyek di Distan Malaka yang diduga dikerjakan oleh kroni Kadistan Malaka. Salah satu contohnya yaitu Rumah Potong Hewan (RPH) yang saat ini sedang dimanfaatkan oleh Distan Malaka sebagai kantor. Bangunan ini dibangun dengan Dana Alokasi Khusus (DAK) senilai Rp 3 Miliar, tetapi lantainya hanya berupa kasar saja, sedangkan uang untuk sarana dan prasarana ikutannya seperti kulkas, meja kursi dan lainnya yang termuat dalam DIPA tidak ada. Ironisnya, Gedung tersebut yang hakikatnya adalah RPH tetapi sebagai rumah hunian manusia. Hingga saat ini pemotongan hewan berjalan secara liar di hampir seluruh sudut kota Betun.
Berikut, Launching Beras Nona Malaka. Pemda Malaka ditanggal 12 Desember 2022 me-launching Brand Beras Nona Malaka, sebagai salah satu perwujudan mimpi SN-KT akan swasembada pangan dan ketersediaan pangan yang berkelanjutan bagi masyarakat. Namun, ternyata hal itu hanya hiburan sekecap bagi publik Malaka. Memasuki bulan Maret 2023 lalu, seantero Nusa Tenggara Timur geger dengan pemberitaan media, bahwa pasokan beras di Kabupaten Malaka kosong. Harga Beras Nona Kupang menembus Rp 16.000/kg di Betun-Malaka. Masyakat pun kesulitan mengakses pangan bahkan mengalami krisis pangan. Sementara Beras Nona Malaka yang sudah dilaunching tiga bulan sebelumnya saat itu hilang alias tidak ada.
Beras Nona Malaka hanya ada saat launching (12 Desember 2022, red) lalu hilang lagi atau langkah saat masyarakat sedang teriak lapar dan butuh makan. Dan itu terjadi tepat saat masyarakat sedang berada di lingkaran musim tanam. Beras Nona Malaka sudah seperti Nona Siluman atau cocoknya diberi nama ‘Beras Nona Siluman Malaka.’ Keunggulannya yaitu hadir dimusim panen dan hilang lagi saat musim tanam. Ia ada beberapa saat sesudah masyarakat sedang menikmati hasil panen dari lahan mereka, dan tiada ketika lumbung pangan keluarga miskin di Malaka mulai kosong.
Anehnya, ditanggal 3 Maret 2023, usai rapat dengar pendapat dengan DPRD Malaka, Kadistan Malaka, drh. Januaria Maria Seran masih menjelaskan, bahwa beras Nona Malaka yang dilaunching pada tanggal 12 Desember 2022 jumlahnya sebanyak 12 ton. Padahal menurut sumber lain terpercaya, jumlah beras yang diperoleh sebesar 60% dari jumlah gabah yang digiling. Dengan demikian, bila 9 ton gabah yang digiling, maka beras yang diperoleh hanya 5,4 ton. Lalu mengapa diumumkan 12 ton? Lebih aneh lagi, Beras Nona Malaka yang diproduksi pertama itu hanya dijual kepada Bank NTT dan kepada para Kepala OPD di Kabupaten Malaka. Sisanya ke Rumah Jabatan Bupati Malaka. Sedangkan masyarakat hanya sebagai penonton dengan perut lapar. Pertanyaannya, Beras Nona Malaka itu untuk memenuhi kebutuhan pangan masyarakat ataukah khusus (ekslusif) untuk memenuhi kebutuhan para pejabat? Kalau hanya untuk dijual kepada para pejabat selain ke bank NTT, maka brand Beras Nona Malaka perlu diganti namanya menjadi Beras Nona Pejabat Malaka.
Persoalan lain terkait produksi Beras Nona Malaka yaitu saat ini terlihat di beberapa titik di wilayah Kabupaten Malaka, para Penyuluh Pertanian Lapangan (PPL) Dinas Pertanian Kabupaten Malaka mendatangi para pemilik gabah dan meminta agar gabah petani dijual kepada pengusaha tertentu dengan harga Rp 5.500/kg. Masih menurut sumber tersebut, bahwa Pemda Malaka melalui Kadistan Malaka mewajibkan para petani menjual gabahnya kepada pengusaha tertentu untuk mendukung proses produksi beras Nona Malaka.
Menurut saya, kebijakan Kadistan Malaka yang demikian sangat merugikan masyarakat. Betapa tidak! Setelah gabahnya dijadikan beras Nona Malaka, petani yang membutuhkan makan akan kembali membeli beras tersebut di pasaran dengan harga Rp 10.000/kg hingga Rp15.000/kg. Artinya masyarakat harus merogo tambahan kocek sebesar Rp 5.000 hingga Rp 10.000/kg. Jadi, penerapan program tersebut tentu tidak pro-rakyat, tetapi justeru menambah beban dan mempersulit rakyat. Padahal, seyogianya program bernilai miliaran rupiah yang digelontorkan Pemda Malaka itu meningkatkan kesejahteraan rakyat, bukan untuk menambah beban penderitaan rakyat.
Kebijakan tersebut menunjukkan, bahwa untuk memenuhi ambisinya akan swasembada pangan Pemda Malaka bahkan harus merampas hak kebebasan masyarakat petani untuk bebas menentukan kemana ia menjual hasil produksinya. Sejumlah petani yang ditemui menyebut, gabah padi Chiherang yang mereka produksi adalah dari benih bantuan Dinas Pertanian Malaka. Namun Distan Malaka secara halus menekankan agar petani hanya boleh menjual hasil produksi pertaniannya (padi, red) kepada pengusaha tertentu. Hal ini memberi kesan, Pemerintahan SN-KT seakan mengistimewakan sejumlah pengusaha tertentu alias rekan-rekannya di lingkaran oligarki dan menganaktirikan pengusaha lainnya serta mendiskriminasi masyarakat keci di Malaka.
Berikut, terkait Penunjukan off staker produksi Beras Nona Malaka juga diduga syarat kepentingan dan bahkan terkesan telah ada kesepakatan tertentu. Hal ini dilihat dari penyediaan fasilitas oleh pemerintah untuk pengusaha tertentu seperti rumah produksi, mesin pemoles beras dan peralatan lainnya. Pengusaha yang bersangkutan tinggal memanfaatkannya untuk meraup keuntungan. Padahal, seharusnya pengusaha yang menyiapkan fasilitas, karena pengusalah yang akan meraup keuntungan dari usaha tersebut, bukan untuk pemerintah? Hal tersebut memberi indikasi tidak adilnya Pemerintahan SN-KT terhadap semua pengusaha di kabupaten Malaka.
Itukah maksud SN-KT tentang Program Malaka Swasembada Pangan di Kabupaten Malaka? Pertanyaan ini cukup dijawab saja oleh SN-KT di dalam hati dan dalam tindakan tanpa harus dalam sabda. Tujuan SN-KT mungkin mulia, tetapi jauh dalam pelaksanaannya karena tidak ada yang baru dari program ini. Beras Nona Malaka hadir sesaat sekedar untuk memenuhi janji politik SN-KT, tetapi sejauh ini belum berdampak apa-apa bagi kesejahteraan masyarakat Malaka ditiga tahun kepemimpinan SN-KT. Karena produksi pangan yang meningkat belum tentu itu indikasi bahwa Malaka mencapai ketahanan pangan oleh karena swasembada pangan. Sebab, unsur ketahanan pangan pada akhirnya mengarah pada kesejahteraan petani. Sementara itu, per tahun 2022, jumlah anak stunting di Kabupaten Malaka masih ada sebanyak 3.076 anak atau sekitar 18,9 persen dari jumlah penduduk Malaka. Jadi, Bupati SN belum punya alasan kuat untuk membanggakan capaianya terkait swasembada pangan.
Dari sejumlah paparan persoalan factual tersebut, maka dapat dikatakan mimpi dan upaya SN-KT untuk Malaka yang berswasembada pangan dan mandiri serta sejahtera, ibarat membangunan istana di atas pasir yang tidak pernah jadi-jadi. Perencanaan program dan implementasinya juga ibarat jauh panggang dari pada api, karena management dan kualitas mental kerja sumber daya manusia di sekeliling SN-KT kurang mendukung mimpi besar SN-KT.
Kondisi demikian meneguhkan pendirian penulis, bahwa mimpi swasembada pangan yang digaungkan SN-KT sejak awal kampanye hingga tiga tahun kepemimpinannya hanya sekedar kemasan program dan janji tanpa perencanaan yang matang dan tanpa didukung sumber daya yang memadai dalam implementasinya. Bahkan tidak menambah apa-apa bagi terciptanya keberlanjutan ketersediaan pangan bagi masyarakat Malaka.
Artinya, sesungguhnya tanpa kehadiran program swasembada pangan dari SN-KT pun, masyarakat dengan kearifannya dan upayanya tetap dapat mengakses pangan, makan dan hidup. Jadi, masyarakat tidak perlu diakal-akali dengan sabda bahagia kelimpahan pangan, tetapi faktanya tetap lapar karena kekurangan pangan. Lapar karena hak mereka tidak disalurkan secara tepat oleh orang yang jujur dan tepat.
Dalam konteks ini dapat disimpulkan, bahwa demi mencapai sebuah popularitas, Pemda Malaka memperalat para petani untuk mewujudkan keinginannya tanpa memperhatikan kepentingan petani. Pemda Malaka terkesan sedang menggiring petani masuk ke dalam jerat sistem monopoli perdagangan hasil pertanian.(*)