Siklus Demokrasi Malaka; “Dari Politik balas dendam menuju Demokrasi Sentimentalisme”. Sebuah Kritik Terhadap Kebijakan Pemerintah Malaka.
Demokrasi dibangun dengan tujuan menyelamatakan nilai nilai kehidupan manusia dari diskriminasi dan hegemoni politik totalitarian. Demokrasi sebagai jaminan bagi setiap warga negara untuk mengekspresikan kebebasannya. Kebebasan untuk berpendapat dan mendapatkan perhatian dari pemerintah. Demokrasi lahir dari penalaran untuk mengakui eksistensi pluralitas sebagai satu realitas unik dan tak terbantahkan.
Kenapa harus Demokrasi bukan yang lainnya, Sebab, ketika pertanyaan tentang Sebuah sistem politik dengan rekomendasi atas hak, kebebasan dan keadilan, sejauh ini demokrasi masih aktual dan sangat berpengaruh. Inilah solusi dari pasang surutnya sejarah dinamika politik umat manusia. Mengingat karena, sistem politik sebelumnya masih ada kecurangan terhadap hakekat kehidupan sosial-politik itu sendiri. Oleh karena itu, kita sebagai warga negara sudah sepatutnya lulus dari sekolah demokrasi seiring dengan peradaban demokrasi yang sudah sekian lama dibangun.
Sentimentalitas; Ujian Baru Bagi Demokrasi.
Praktik politik egosentris dan kebencian patut dicurigai sebagai rahim tumbuhnya demokrasi sentimental. Masih dekat lagi dengannya, tuntutan dari strategi politik yang dilakoni acap kali berpaling dari jiwa demokrasi. Sampai di sini demokrasi dilihat layaknya anak yang terlupakan, sengaja diterlantarkan begitu saja tanpa perhatian. Demokrasi tidak mungkin didamaikan dengan sentimentalitas karena prinsipnya, Demokrasi itu penalaran publik, bukan perasaan suka tidak suka.
Sentimentalitas digambarkan sebagai suatu semangat yang langsung mengancam keadilan pada tataran prosedur demokrasi. Sentimentalitas menunjuk kepada Identitas-identitas semisal, agama, ras, suku, golongan dan kategori kategori kolektif lainnya. Inilah potensi menuju tindakan yang mencederai prosedur demokrasi. Kebijakan dengan intensi keberpihakan pada kelompok tertentu, balas dendam, adalah tanda lahirnya politik sentimentalitas. Oleh karena itu, Semangat perjuangan yang masih didorong oleh rasa balas dendam, “ita sae foin hakledik osak sira” (Baca; tentun), Demikam halnya kita masih terlena oleh Siklus politik sentimentalitas. Jadi, jangan heran, kalau kalau isu ini pun dilegitimasi dan dijadikan komoditi unggulan dalam bursa poltik Malaka.
SK TEDA, merupakan afirmasi sentimentalitas. Ketika kita melihat nama nama yang diakomodir menjadi TEDA, Secara sadar, masyarakat pun tidak perlu sibuk dengan anti tesis anti tesis yang ketat. Namun, kita langsung sampai pada kesimpulan bahwa, ternyata ini begini, atau begitu. Kebijakan dari tawaran prosedur demokrasi perlu mempertimbangkan asas keadilan, agar kemunduran demokrasi di Malaka dapat dinetralkan. Bisa juga diduga kebijakan pemerintah Malaka didorong oleh sentimen-sentimen ini, bertujuan untuk menjawab tuntutan kepentingan golongan saat rekrut politik kala itu. Ruang ini tidak bisa dibiarkan kosong begitu saja, sebab, jika dibiarkan kosong maka, golongan ini sewaktu waktu dapat berubah menjadi sosok gentayangan, yang menyeramkan, dan pasti terus menghantui project politik mendatang.
Apabila strategi politik atau amunisi amunisi politik masih dijadikan sebagai dasar pertimbangan kebijakan pemerintah. secara otomatis keretakan sosial dan lambannya proses pertumbuhan demokrasi belum mampu diatasi dengan baik. Untuk dapat keluar dari siklus ini, mau tidak mau, pemerintah harus membuka ruang bagi kemungkinan kemungkinan rasionalitas.
Demokrasi Sebagai Jalan Tunggal.
Hanya melalui demokratisasi secara menyeluruh, besar kemungkinan kemurungan demokrasi di Malaka khususnya bisa diselamatkan. Di sini dianjurkan supaya fasilitas demokrasi yang sudah tidak terawat perlu diperhatikan kembali, seperti, penalaran publik dan musyawarah mufakat harus mendapat perhatian ekstra dari pihak pemerintah. dengan alasan bahwa pemerintah itu proto tipe politik dimana, semua tindakan pemerintah merupakan cerminan langsung dari hal tersebut. Permainan isu politik seputar problem agama, suku, ras dan golongan patut dikebiri. Penalaran publik pun demikian, penalaran diartikan sebagai dasar keterbukaan terhadap perbedaan pendapat, Kritik dan revisi. Demikian juga dalam birokrasi ditekankan agar jangan terjadi politisasi, karena birokrasi harus memihak pada Kepentingan umum bukan kelompok atau golongan tertentu saja. Indikasinya akan menunjuk pada kematangan dalam pengambilan keputusan.
Dalam Bahasa Mazhab Frankfurt ialah “diskursus dengan tujuan konsensus (Jurgen Habermas) atau dapat dipahami sebagai Persetunjuan atas satu tema. dalam padanya, suatu kebijakan semestinya terjadi melalui prosedur diskursus.Ada pun hal hal yang tidak disepakati dalam ruang ini, belum bisa ditentukan sebagai sebuah norma oleh satu pihak, dan kalau pun demikan terjadi, maka, akan disebut sebagai pelanggaran atas Prinsip diskursus.
Selain tawaran dari teori sekolah Frankfurt ini, dalam diskursus etika politik era postmodernism juga menyodorkan beberapa solusi baru yakni, Kemunduran demokrasi bisa diselamatkan dengan domain agama serta moralitas masyarakat, Dimana gagasan ini berangkat dari asumsi bahwa agama dengan prinsip-prinsipnya, memiliki kekuatan untuk menumbuhkan semangat demokrasi suatu daerah. Sebab demokrasi akan selalu tumbuh kalau melibatkan agama.
Jika hal ini dijalankan maka, Keadilan sebagai tujuan yang dicita citakan sejak lama itu, tidak hanya tinggal seperti halnya mimpi Thomas More, terpaksa hadir dan dirasakan oleh masyarakat negeri ini sebagai satu realita biasa yang kerap dijumpai kapan dan dimana saja. Mengingat pertumbuhan suatu negara atau daerah misalnya sangat ditentukan oleh proses demokrasi yang baik. (*)