Radar Malaka, Tanjungpinang – Pada 22 Januari 2025, Presiden Prabowo Subianto menerbitkan Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 1 Tahun 2025 yang menekankan pentingnya efisiensi belanja dalam pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) serta Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Tahun Anggaran 2025.
Kebijakan ini ditujukan untuk meningkatkan penggunaan anggaran negara dengan mengurangi pengeluaran yang dianggap tidak esensial, seperti perjalanan dinas, pengadaan alat tulis, dan konsumsi listrik di kantor pemerintahan.
Namun, implementasi efisiensi anggaran ini menimbulkan kekhawatiran besar, terutama terkait konsekuensinya pada sektor pendidikan.
Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah (Kemendikdasmen) mengalami pemangkasan anggaran sebesar Rp8 triliun dari total alokasi Rp33,5 triliun, sehingga anggaran yang dikelola kini berada pada kisaran sekitar Rp25,5 triliun.
Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah, Abdul Mu’ti, memastikan bahwa program-program yang berfokus pada peningkatan mutu pendidikan, seperti renovasi sekolah, kesejahteraan guru, bantuan pendidikan (Program Indonesia Pintar), dan dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS), tidak akan terganggu oleh efisiensi anggaran tersebut.
Meskipun demikian, kekhawatiran tetap muncul di kalangan masyarakat dan pengamat pendidikan. Salah satu dampak yang paling dikhawatirkan adalah potensi kenaikan Uang Kuliah Tunggal (UKT) di Perguruan Tinggi Negeri (PTN). Efisiensi anggaran berpotensi mengurangi subsidi pemerintah untuk pendidikan tinggi, yang pada akhirnya akan meningkatkan beban biaya kuliah bagi mahasiswa.
Tak hanya itu, efisiensi anggaran juga dapat berdampak pada program beasiswa yang dikelola oleh Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi.
Potensi pemotongan anggaran dapat mengakibatkan penurunan jumlah penerima beasiswa atau besaran dana yang diberikan, yang akan berimbas pada akses pendidikan bagi mahasiswa berprestasi dari keluarga kurang mampu.
Menyikapi kebijakan ini, Respati Hadinata, Koordinator Wilayah Sumatera Bagian Utara BEM SI Kerakyatan, menyatakan bahwa efisiensi anggaran yang ditujukan pada sektor pendidikan merupkan bentuk ketidakadilan yang nyata.
“Pemerintah selalu berbicara tentang efisiensi, namun mengapa pendidikan yang menjadi korban? Sementara belanja untuk proyek-proyek istimewa dan kepentingan golongan elit tetap terjamin. Jika pemerintah sungguh-sungguh dalam menerapkan efisiensi, seharusnya mereka memangkas pengeluaran yang tidak perlu daripada mengorbankan hak rakyat untuk menerima pendidikan yang layak,” tegas Respati, pada Kamis, 13 Februari 2025.
Selain itu, dia menyoroti dampak kebijakan ini terhadap mahasiswa dan pelajar, terutama di wilayah Sumatera Bagian Utara.
“Kami di daerah sudah merasakan betapa sulitnya akses pendidikan, mulai dari fasilitas yang minim hingga biaya kuliah yang semakin meroket. Jika anggaran pendidikan terus dipangkas, ini hanya akan memperbesar kesenjangan. Pemerintah seharusnya menjamin akses pendidikan yang merata, bukan malah menghambatnya dengan kebijakan yang tidak pro-rakyat,” paparnya.
Di sisi lain, Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) juga menyoroti lima dampak efisiensi anggaran pendidikan, salah satunya adalah ancaman putus sekolah bagi siswa dari keluarga kurang mampu. Penurunan bantuan pendidikan berpotensi memperluas kesenjangan antara siswa dari keluarga berada dan kurang mampu.
Pemerintah berencana mengalokasikan dana hasil efisiensi untuk mendukung program-program prioritas, seperti pemberian makan siang gratis bagi lebih dari 82 juta siswa sekolah dan ibu hamil, yang diestimasi memerlukan biaya Rp392 triliun per tahun.
Namun, sejumlah ekonom dan investor meragukan kemampuan pemerintah dalam mendanai program tersebut tanpa menambah utang, yang berpotensi mempengaruhi peringkat kredit negara.
Respati Hadinata menegaskan bahwa efisiensi anggaran tidak boleh menjadi alasan untuk mengorbankan pendidikan.
“Kami bukan menentang efisiensi, namun kami menolak jika efisiensi dilakukan secara tidak adil. Pemerintah harus transparan dan memastikan bahwa setiap kebijakan yang diambil benar-benar melayani kepentingan rakyat. Jika pendidikan terus dipangkas, maka masa depan bangsa yang dipertaruhkan,” pungkasnya.
Secara keseluruhan, meskipun efisiensi anggaran bertujuan untuk meningkatkan penggunaan dana negara, implementasinya perlu dilakukan dengan hati-hati agar tidak mengorbankan sektor-sektor vital seperti pendidikan.
Pemerintah harus memastikan bahwa efisiensi tidak berdampak negatif pada akses dan kualitas pendidikan, serta tetap mempertahankan komitmennya dalam membangun sumber daya manusia yang unggul untuk masa depan bangsa.
Editor: Budi Adriansyah