Scroll untuk baca artikel
HeadlineLintas Provinsi

Ditinggal Pergi oleh Sang Ayah (Bagian 2)

146
×

Ditinggal Pergi oleh Sang Ayah (Bagian 2)

Sebarkan artikel ini

Oleh: Suyono Saeran

Sore itu begitu indahnya. Sinar perak jingga menyeruak di ujung langit sebagai pertanda waktu Maghrib tidak lama lagi tiba. Seiring waktu yang mulai dirayapi gelap yang merayap, saya lihat Ansar Ahmad duduk sendiri di teras rumahnya dan menghadap arah matahari yang beberapa menit lagi pulang ke peraduan. Tubuhnya dibalut kemeja batik warna coklat berlengan pendek dengan perpaduan sarung warna putih dan sandal jepit yang menghias kakinya. Lelaki yang lemah lembut ini, sambil duduk bersandar di sebuah kursi besi, sedikit bercerita tentang masa lalunya sebelum berangkat ke masjid menunaikan sholat Maghrib yang tidak jauh dari rumahnya.

Selintas pikirannya melayang, merajut ingatan demi ingatan tentang perjalanan hidupnya yang penuh liku dan perjuangan. Salah satu ingatan yang terus terpatri dan tidak pernah dia lupakan tentang bagaimana rasa sedihnya ketika lelaki pahlawan hidupnya pergi terlalu cepat. Pergi dipanggil Sang Pemilik Kehidupan dan meninggalkan dirinya serta empat orang saudara kandungnya. Lelaki itu adalah Abdul Ahad, ayahnya yang dalam perjalanan hidup bagi seorang anak ibarat sinar lilin yang menuntun di tengah gurun luas yang penuh kegelapan.

Bibir Ansar Ahmad seperti tertahan dan tak kuasa meneruskan cerita, ketika mengenang Abdul Ahad, ayah sekaligus sosok lelaki yang sebenarnya sangat diharapkan akan membimbingnya mengarungi kerasnya kehidupan. Maklum, Ansar Ahmad baru berumur dua tahun ketika ayahnya harus pergi dan menghadap Sang Kuasa. Sebuah usia yang begitu mendambakan kehadiran seorang ayah untuk menemaninya bermain, mendengarkan cerita dan berbagi suka duka. Tetapi di usia dua tahun, dirinya harus kehilangan tiang pegangan yang diharapkan mampu menopang jalan hidupnya menuju masa depan.

“Ketika bapak meninggal saya baru berumur dua tahun. Adik saya, Nesar Ahmad, baru berumur 10 bulan. Saya belum paham akan arti sebuah kehilangan sosok penting bagi seorang anak waktu itu. Maklum, saya dan adik saya masih sangat kecil untuk mengerti tentang semua itu. Tapi setelah kami beranjak dewasa, betapa rasa kehilangan itu begitu kuat melekat di dada,” kata Ansar Ahmad pelan dengan wajah tertunduk.

Ansar Ahmad mengaku tidak tahu persis seperti apa sosok Abdul Ahad, sang ayah yang melaluinya terukir jiwa dan raganya. Hanya cerita yang setiap kali dirinya bertanya pada sang emak, selalu dikatakan kalau ayahnya seorang lelaki yang hebat. Seorang pejuang tangguh yang mendedikasikan waktu dan tenaganya untuk istri, anak dan keluarga yang dicintainya.

Bahkan keinginan kuatnya untuk mengenang dengan pasti tentang wajah ayahnya, senyumnya, dan tutur katanya, hanya bisa melalui selintas bayangan yang penuh perkiraan. Hanya cerita emaknya yang menguatkan tentang pikirannya dalam menelusuri kembali masa lalu, semasa dirinya masih kecil dan digendong ayahnya.

“Usia dua tahun itu kita belum tahu apa-apa. Bahkan untuk mengenang wajah seorang ayah pun agak kesulitan karena memang usia dua tahun belum cukup umur untuk memahami sebuah kehidupan,” katanya kembali dengan nada lirih.

Saat ayahnya yang merupakan sosok tiang keluarga pergi selamanya, Ansar Ahmad beserta empat saudaranya harus menjalani hidup bersama seorang emak yang harus berjuang sendirian. Karena ketika ayahnya pergi, Musarat Sultana, kakaknya yang paling tua, baru berumur 8 tahun. Praktis, emaknya yang selama ini hanya ibu rumah tangga biasa yang hanya tahu mengurus anak dan rumah, harus berdiri kokoh menggantikan peran ayah sebagai penopang keluarga. Karenanya, berbagai usaha dilakukan emaknya agar anak-anaknya bisa cukup makan dan bertahan hidup.

“Saya kadang tak kuasa menahan air mata bila mengingat kerasnya perjuangan emak. Bayangkan, bagaimana tunggang langgannya seorang emak untuk mencari penghidupan guna membiayai hidup lima orang anaknya yang masih kecil-kecil,” tuturnya dengan mata yang mulai sembab.

Karena beban hidup yang berat dan biaya yang tidak sedikit, emaknya hanya mampu menyekolahkan Musarat Sultana, kakak tertuanya, hanya sampai di bangku Sekolah Menengah Pertama (SMP). “Setelah lulus SMP, kakak saya dipinang orang dan langsung menikah. Dan ketika saya mulai masuk SD, saya ikut kakak saya di Kijang dan sekolah di sana,” kata Ansar Ahmad kembali mengenang.

Pilihan Ansar Ahmad ikut bersama kakaknya yang sudah menikah juga untuk membantu meringankan beban emaknya yang seorang diri menghidupi keluarga. Karenanya, bagi Ansar Ahmad sosok Wak Mus (panggilan akrab dirinya terhadap Musarat Sultana, kakaknya) juga dianggap sebagai seorang sosok ibu setelah emaknya meninggal dunia. Ikatan emosional dirinya dengan Wak Mus begitu kuat karena dari kelas satu sampai lulus SD, Ansar Ahmad hidup dan dibiayai oleh kakak kandungnya yang paling tua tersebut.

Setelah lulus SD di Kijang, Ansar Ahmad kembali dipanggil emaknya dan dimasukkan ke SMP Negeri 4 Tanjungpinang. Ketika memasuki usia SMP inilah, Ansar Ahmad kembali tinggal bersama emak dan tiga orang saudaranya di rumahnya di kilometer 3.

“Banyak perjuangan yang dilakukan emak agar anak-anaknya bisa sekolah dan bertahan untuk melanjutkan kehidupan. Kadang saya terpikir, terlalu sedikit yang bisa saya lakukan untuk bisa membahagiakan emak. Hanya butir-butir doa yang tidak pernah berhenti untuk emak, untuk bapak, atas segala perjuangan yang telah dilakukan,” kata Ansar Ahmad sambil pelan-pelan bangkit dari tempat duduknya.

Tak terasa, waktu Maghrib tiba ketika Ansar Ahmad menyudahi sepenggal cerita tentang sebagian kecil perjalanan hidupnya. Sinar perak jingga di ujung langit juga sudah mulai hilang diganti suara adzan yang bergemuruh di langit. Ansar Ahmad beranjak dari duduknya dan melangkah pelan menuju masjid untuk memenuhi panggilan-Nya.

Saya lihat wajahnya tertunduk dan sesekali menatap ke depan ketika langkah kakinya mulai berayun menuju Masjid Al Weni yang letaknya hanya 200 meter dari kediaman. Saya yang menemaninya berjalan, hanya diam membisu. Pikiranku mungkin sama dengan apa yang dia pikirkan tentang sosok seorang emak yang begitu berharga. Tentang sosok seorang ayah yang jadi pelita jiwa. Dan waktu yang terus berjalan hanya mampu kami isi dengan sebait doa, semoga Allah SWT senantiasa menghadiahi surga bagi kedua ayah dan ibu kita. Aamiin ya rabbal aalamiin…